PROSES
PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI BREBES
MASA JABATAN 2002 - 2007
(
Studi Kasus Implementasi Pemilihan Kepala Daerah
Dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Brebes
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000)
TESIS

Oleh :
Agung
Widyantoro
NIM :
P2FB01004
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
PROGRAM
PASCASARJANA
ILMU
ADMINISTRASI PUBLIK
PURWOKERTO
2005
PROSES
PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI BREBES
JABATAN 2002 - 2007
(
Studi Kasus Implementasi Pemilihan Kepala Daerah
Dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Brebes
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000)
TESIS
Untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Magister (S2)
Program
Studi Ilmu Administrasi Publik
Oleh :
Agung
Widyantoro
NIM :
P2FB01004
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
PROGRAM
PASCA SARJANA
ILMU
ADMINISTRASI PUBLIK
PURWOKERTO
2005
TESIS
PROSES
PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI BREBES
MASA JABATAN 2002 - 2007
(
Studi Kasus Implementasi Pemilihan Kepala Daerah
Dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Brebes
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000)
Oleh :
Agung
Widyantoro
NIM :
P2FB01004
Telah disahkan dan disetujui oleh :
Pembimbing I/Penguji I,
Pembimbing II/Penguji II,
Drs. Muslih
Faozannudin, M.Sc Drs. Pawrtha Dharma, M.Si
NIP. 131 996 101
NIP. 131569 013
Penguji III,
Penguji IV,
Dr. P.
Israwan Setyoko, M.S. Drs. Sukarso, M.Si.
NIP. 131 569 009 NIP. 131 877 088
Mengetahui,
Ketua
Program Studi
Ilmu
Adminstrasi Publik
Dr.
P. Israwan Setyoko, M.S.
NIP.
131569 009
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Agung Widyantoro
NIM :
P2FB01004
Program Studi : Ilmu
Administrasi Publik
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa karya tesis ini
benar-benar merupakan karya saya, dan dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Brebes, Juni
2005
Penulis,
Agung Widyantoro
PERSEMBAHAN
Karya penelitian yang berwujud tesis ini pertama-tama penulis
persembahkan kepada :
- Alm. H.EDDY SOEDARYO dan Alm. H.RMS.WIRYOSENDJOYO, Ayahku dan Kekekku yang selalu mengajarkan soal-soal hidup dan kehidupan sehingga memotivasi saya untuk selalu belajar dan belajar.
- Hj.SRIYATIE, Ibundaku yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sejak kecil hingga dewasa, sehingga dapat mengamaliahkan Ilmu yang saya miliki untuk kesejahteraan masyarakat.
- H.NGAKAN NJOMAN OKA dan Hj.SURATMIATI, Bapak dan Ibu mertuaku yang turut andil memberikan semangat kepadaku untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik.
- Hj.Dra.I DEWA SANG AJU PUTU PERAMIARTI M.Kes., Isteriku yang
tiada jemu-jemunya memberikan dorongan dan semangat kepada
saya untuk bangkit melawan kemalasan sehingga terselesaikannya tesis ini.
- DEWA TARUNA NUGRAHA dan ASTARI BELLA LARASATIE, Anak-anakku yang ingin melihat Ayahnya berdiri dialtar kemenangan untuk diwisuda lagi seperti Mamanya ketika menyelesaikan Program Magisternya.
- Seluruh Sahabat-sahabatku yang tidak dapat saya sebut satu demi satu, akan tetapi memiliki andil besar dalam memberikan semangat demi terselesaikannya penelitian ini.
MOTTO
- Berbuatlah yang terbaik demi
kebahagiaan orang-orang yang terkasih walaupun terkadang serasa melelahkan
dan menjemukan.
- Hidup itu bagaikan naik sepeda,
Anda tidak akan jatuh kecuali bila berhenti mengayuh.
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan proses pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
masa jabatan 2002-2007, dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi
proses pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Brebes dengan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Sasaran
penelitian adalah semua pihak yang terkait dengan proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
dilokasi penelitian. Teknik pengambilan sampel purposive sampling, dengan metode pendekatan what happening, melalui wawancara, dokumentasi kumpulan arsip dan
observasi tak berperan, analisis data menggunakan model analisis interatif.
Setelah
dilakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam dihasilkan fakta bahwa ada
suatu kondisi yang bersifat maldesign yang memungkinkan terjadinya
beberapa perilaku politik unik yang ditunjukkan oleh para aktor politik dan
aktor kebijakan yang terlibat dalam proses pemilihan tersebut. Dalam proses
implementasi kebijakan, pemilihan tersebut sangat dipengaruhi faktor dari luar
lingkungan kebijakan yang meliputi faktor politik dan faktor ekonomi.
Faktor-faktor
politik yang mempengaruhi proses
pemilihan tersebut adalah Pertama,
terdapat rangkap pencalonan Wakil Bupati yang berpasangan dengan 2 (dua) calon
Bupati sekaligus yang berasal dari 2 (dua) fraksi yang berbeda. Kedua, pengunduran diri calon Wakil
Bupati tersebut karena dilakukan beberapa saat sebelum pemungutan suara,
menimbulkan akibat hukum yang fatal sehingga terjadi pro-kontra sah tidaknya
proses pemilihan yang mengakibatkan deadlock
dalam rapat paripurna. Implikasi pengunduran diri tersebut membuat hanya
terdapat satu calon tunggal, suatu kondisi yang tidak diperbolehkan dalam PP
151/2000. Namun pihak lain, dalam hal ini fraksi yang mengajukan pasangan calon
yang dianggap sebagai calon tunggal itu tetap bersikeras bahwa proses pemilihan
berjalan sebagaimana aturan dan tata tertib yang berlaku dan dianggap sah. Ketiga, terjadi manipulasi surat suara
dalam proses pemungutan suara, karena kartu suara milik 12 orang anggota dari
dua Fraksi yang walk-out tetap dimasukkan dalam kotak suara dan dihitung
abstain.
Adapun
faktor ekonomi yang berpengaruh yaitu munculnya dugaan politik uang atau money
politics yang mewarnai
proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati masa jabatan 2002-2007 di Kabupaten
Brebes.
Kata Kunci : Implementasi Kebijakan Pemilihan Kepala
Daerah,Kepentingan dan strategi aktor dalam proses pemilihan, Faktor ekonomi.
SUMMARY
This research was aimed firstly to describe the process
of Brebes Resident and Vice Resident
election for period of year 2002 to 2007, and secondly to describe several
factors that might influence the above election processes.
This research was conducted in Brebes Residence applying
a qualitative descriptive approaches. All aspects exist in the research
location which related with the election processes were treated as reseacrh
objects. A purposive sampling method with a specific approach caled “what is
happening?” was done throught out this reseacrh applying intereview, analysis of
archieves as well as observation data were then analysed using an interactive
analisis model.
This research result shows that there was a fact of which
called mal design condition led to some unique politic behaviours represented
by political actors as well as policy makers which intensively tied to the
election processes. During the processes of policy implementation those
election processes a strongly infuenced by external factors of the policy
invironment including those of political and economic factors.
Those political factors which influenced the election
activities were, Firstly, there were double vice resident candidacy paired with
2 different resident candidates of to different fraction. Secondly, a quiting
movement of the particular vice resident candidate from the election processes
just in a short time before the H day. This of course, caused a fatal effect of
law led to a dead lock situation in the comprehensive meeting discussion,
whether the election vote would be accepted or not. The candidacy quiting
movement, implied an only one candidate left for the election, which is not
permitted by law ( PP 151/Th 2000 ) on the contrary, fraction backing -up the only candidate said
that the show must go on as already stated on their own agreement. Thirdly
there was a ballot manipulation where
12 voters of the walk -out voters were
still counted as abstain.
Although economic factors influenced called money
politics also appeared in this election.
Key words : Implementation of Residential election policy, Actor is interests &
strategies on the election processes, Economic factor.
PRAKATA
Tiada kata yang patut diucapkan
selain Puji Syukur Kehadirat Allah SWT. pencipta alam semesta. Karena atas
karunia waktu, kesehatan, dan kesempatan yang diberikan, maka penulisan tesis
yang berjudul “ Proses Pemilihan Bupati Dan Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan
Tahun 2002 – 2007, Studi Kasus Implementasi Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten Brebes Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun
2000” dapat diselesaikan dengan baik. Karya tulis ini disusun sebagai salah
satu persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister
Adminstrasi Publik pada Program Pasca Sarjana Universitas Jenderal Soedirman.
Penyelesaian tulisan tesis ini
hingga mencapai bentuk akhir dapat terwujud karena adanya dorongan, dukungan,
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1.
Bapak Drs. Muslich Faozanudin, M.Sc.,
sebagai Pembimbing I yang telah membimbing penulis selama menyusun tesis dengan
penuh kesabaran ;
2.
Bapak Drs. Pawrtha Dharma, M.Si.,
sebagai Pembimbing II atas masukan dan koreksinya yang cukup berharga bagi
penyempurnaan tesis ini.
3.
Almarhum Bapak Drs. Muchtar Wisnu
Wardoyo, M.Si., semula sebagai Pembimbing II yang hingga akhir hayatnya telah
turut memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
4.
Bapak DR.Paulus Israwan
Setyoko,M.S., yang berkat ketelitian dan keterbukaannya sebagai penguji telah
membantu penulis menyelesaikan tesis ini dengan baik.
5.
Bapak Drs. Sukarso Msi, dengan
pengalaman dan bimbingannya sebagai tim penguji yang telah membantu penulis
untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik.
6.
Bapak dan Ibu Staf Pengajar dilingkungan Program Pascasarjana MAP
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yang telah membuka cakrawala
pengetahuan khususnya bidang Ilmu Adminstrasi Publik.
7.
Rektor Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Adminstrasi Publik.
8.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
Pemerintah Kabupaten Brebes, yang telah memberikan ijin kepada Penulis untuk
melakukan penelitian, sehingga proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Masa Jabatan Tahun 2002-2007 dapat didokumentasikan dalam bentuk karya ilmiah.
9.
Segenap Rekan Anggota, Para Ketua
Fraksi dan Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Brebes Masa Bhakti 1999-2004 yang telah dengan senang
hati memberikan keterangan dan masukkan dalam wawancara.
10.
Rekan-rekan pergerakan yang
tergabung dalam LSM/NGO yang telah memberikan spirit kepada penulis untuk
mendokumentasikan proses pemilihan tersebut sebagai karya ilmiah.
Akhirnya penulis menyadari bahwa sebagai karya ilmiah,
tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kekeliruan baik dalam penilaian,
mengutip sumber dan mencantumkan istilah, sehingga tidak berlebihan kiranya
bila semua itu menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. Semoga karya tulis
yang disajikan dalam bentuk sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca, Amien.
Purwokerto, Juni 2005.
Penulis.
Agung Widyantoro
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR
TABEL ..................................................................... i
DAFTAR
GAMBAR ......………………………………………... ii
DAFTAR
LAMPIRAN ..................................................................... iii
BAB
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah ..........…………………................ 1
B. Perumusan Masalah ........…………….......................... 11
C. Tujuan Penelitian ..............…………………....... .... 12
D. Kegunaan Penelitian ......……………………………..... 12
BAB
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pemilihan Kepala Daerah sebagai
Kebijakan Publik ..................................................... 14
B.
Implementasi PP Nomor 151 Tahun 2000
tentang Pemilihan Kepala Daerah ........................................... 16
C. Kerangka Pikir Penelitian
..……………………….................. 21
BAB
III. METODE PENELITIAN dan ANALISIS
A.
Metode Penelitian ……………………………….................. 22
1. Sasaran Penelitian ........................................................
.... 22
2. Teknik
Pemilihan Informan .…………………………........ 23
3. Lokasi
Penelitian
.………………………………................ 25
4. Fokus
Penelitian ............................………......................... 25
5.
Teknik Pengumpulan Data ........….………………............ 31
6.
Jenis Data ........................................………………........... 33
B.
Metode Analisis ............................………........................ 33
1. Validitas Data ................................................................ 33
2. Teknik Analisa ................................................................ 34 a. Reduksi Data ............................................................... 34
b. Data Display .............................................................. 35
c. Penarikan Kesimpulan ................................................ 36
BAB IV. DESKRIPSI
LOKASI PENELITIAN
BAB V. HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Kondisi Keanggotaan DPRD Kabupaten
Brebes
periode 1999-2004 ................................................................. 44
1. Dinamika Politik DPRD Brebes dalam Pemilihan Bupati dan
–
Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun
2002-2007 ....... 44
2. Disparitas Politik dalam Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Masa Jabatan Tahun 2002-2007 ......................................... 47
B.
Proses Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Brebes 2002-2007 ... 51
1. Tahapan dalam Proses Pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Brebes ................................................... 51
a. Tahap Persiapan ............................................................ 52
1). Kegiatan dalam tahap persiapan ............................. 52
2). Tempat tahap persiapan dilakukan ............................ 67
3). Pihak yang terlibat dalam tahap
persiapan ............... 67
4). Alasan kenapa tahap persiapan dilakukan ................ 67
5). Bagaimana tahap persiapan
dilakukan ..................... 68
b. Tahap Pelaksanaan Pemilihan ...................................... 69
1). Kegiatan dalam tahap pelaksanaan
pemilihan ......... 69
2). Tempat tahap pelaksanaan pemilihan
dilakukan ....... 72
3). Pihak yang terlibat dalam tahap pelaksanaan
pemilihan .................................................................. 72
4). Alasan kenapa tahap pelaksanaan
pemilihan
dilaksanakan .............................................................. 73
5). Bagaimana tahap pelaksanaan pemilihan
dilakukan ................................................................. 73
c. Tahap Monitoring dan Evaluasi ................................... 107
1). Kegiatan dalam tahap monitoring dan
evaluasi ......... 107
2). Tempat tahap monitoring dan
evaluasi dilakukan ..... 108
3). Pihak yang terlibat dalam tahap monitoring
dan evaluasi ............................................................... 108
4). Alasan kenapa tahap monitoring dan
evaluasi
dilakukan ....................................................................
108
5). Bagaimana tahap monitoring dan evaluasi
dilakukan ................................................................. 109
2. Faktor
Politik dan Faktor Ekonomi Politik
dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes .............
121
C.
Analisis Implementasi Kebijakan PP
151/2000 .......................... 135
BAB VI. KESIMPULAN
DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan ................................................................................. 139
B. Implikasi .................................................................................... 146
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 152
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Tuntutan utama masyarakat yang sangat
menonjol dalam era otonomi daerah saat ini adalah bagaimana Pemerintah
Indonesia dapat mengembangkan kehidupan demokrasi yang berkeadilan. Serta
menjamin pemerataan kesejahteraan pada masyarakat banyak dengan tetap menjaga
dan memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap terjaga.
Guna mewujudkan tuntutan dan keinginan
tersebut, maka kedudukan Kepala Daerah mempunyai arti dan peran yang sangat
strategis dalam menyelenggarakan
pemerintahan di daerah. Sebab inti dari penyelenggaraan otonomi daerah
pada dasarnya berbasis pada penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten atau
kota, dengan tujuan untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi yang menjamin
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.
Arti
dan peran strategis yang dimiliki seorang Kepala Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud, bertumpu pada substansi dan fungsi
dasar pemerintahan daerah, yaitu pelayanan kepada masyarakat melalui
bermacam-macam cara dan sarana. Dimana salah satunya melalui proses pembangunan
daerah untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar (basic needs) dan
kebutuhan masyarakat setempat lainnya (Yuwanto, 2002:2). Berdasarkan keharusan
dan kenyataan yang sangat berat serta kompleksnya kewajiban tersebut, maka
diperlukan sosok Kepala Daerah yang cakap (capable) dan dapat diterima
oleh masyarakat setempat (acceptable).
Sosok
Kepala Daerah yang cakap dan dapat diterima oleh masyarakat setempat merupakan salah satu kunci keberhasilan
pelaksanaan kemandirian otonomi daerah. Menurut Yuwanto (2002:12), Kepala
Daerah sebagai figur yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, harus
bersikap dan berlaku sebagai seorang manajer yang memiliki berbagai kemampuan
tertentu, antara lain; kemampuan mengatur dan melaksanakan aturan-aturan yang
mendukung pelaksanaan otonomi daerah (self-regulating power), kemampuan
melakukan berbagai penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi termasuk melakukan terobosan inovatif untuk mengolah potensi daerah (self
modifying power), serta kemampuan memelihara dan mengembangkan legitimasi
masyarakat terhadap kewenangan dan kegiatan pemerintahan daerah (creating
political support). Selanjutnya adalah kemampuan mengembangkan pengelolaan
sumber-sumber keuangan daerah guna pembiayaan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan masyarakat (managing finance resources) dan kemampuan
mengembangkan sumber daya manusia di daerah dengan bertumpu pada kemampuan
intelektualitas dalam menyelesaikan berbagai masalah (developing brain
power).
Sebagai sosok administrator publik,
Kepala Daerah hendaknya adalah orang baik yang menguasai pelbagai metode dan
teknik yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi publik. Sifat dan
penguasaan tersebut menuntut Kepala Daerah sebagai sosok yang etis, rasional, pandai
menggunakan prinsip, metode dan teknik-teknik sesuai kebutuhan. Disamping itu
Kepala Daerah juga dituntut untuk responsif, selalu peka terhadap kebutuhan
masyarakat.
Meskipun
tidak mudah, atau bahkan hampir mustahil masyarakat dapat memperoleh pemimpin
daerah yang memenuhi semua jenis kemampuan sebagaimana tersebut di atas. Tetapi
justru ditangan para wakil rakyat yang duduk dilembaga legislatif itulah maka
upaya dan rintisan kearah itu dapat mulai dilakukan karena dalam ketentuan yang
tertuang pada pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa, “Pengisian jabatan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”.
Dengan demikian maka pengakuan akan adanya kedaulatan rakyat, dimanifestasikan
dalam bentuk memaksimalkan peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
representasi perwakilan rakyat, terutama dalam hal menetapkan kebijakan. Salah
satu dampak positif kebijakan itu adalah terjadinya penguatan peran DPRD dalam
proses pemilihan dan penetapan Kepala Daerah, dimana satu diantaranya ialah
terbukanya kesempatan yang luas bagi lahirnya Kepala Daerah yang mencerminkan
keterwakilan aspirasi rakyat dan dipilih secara demokratis. Sehingga nampak
jelas bahwa masyarakat menginginkan adanya peningkatan kualitas demokrasi yang
dibangun dari bawah. Harapan yang mungkin sulit dicapai jika pemilihan Kepala
Daerah masih memakai landasan yuridis Undang-undang Nomor 5 tahun 1974.
Berdasarkan peraturan Undang-undang Nomor
5 Tahun 1974 yang dapat menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur, Bupati dan
Walikota adalah sejumlah pejabat yang secara kuantitatif terbatas sekali.
Secara berurutan, penunjukkan Kepala Daerah di tingkat kabupaten/kota adalah
komandan Korem (Komando Resort Militer) dan Panglima Kodam (Komando Daerah
Militer), sedang untuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dilakukan oleh Kantor
Menteri dalam Negeri yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum
dan Otonomi daerah (Syaukani, 2002 : 301-302).
Kondisi yang berbeda muncul setelah
Otonomi Daerah diberlakukan, dimana menurut ketentuan Undang-undang Nomor : 22
Tahun 1999 mekanisme pencalonan menjadi sangat terbuka, dan rekruitmen Kepala
Daerah menjadi sepenuhnya tanggung jawab masyarakat setempat melalui DPRD. Hal
ini selaras dengan ketentuan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa :
(1)
Pengisian jabatan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan.
Selanjutnya untuk memudahkan proses
implementasi kebijakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang
bernuansa demokratis tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan produk hukum sebagai pedoman pelaksanaan kewenangan tersebut,
yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 151 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sebagai suatu landasan konstitusi, maka Peraturan Pemerintah Nomor 151 tahun
2000 tersebut menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan proses pemilihan kepala
daerah yang dilakukan pada setiap pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota,
termasuk proses pergantian kepala daerah di Kabupaten Brebes yang telah
dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 2002.
Selanjutnya berdasarkan lingkup kajian
Ilmu Administrasi Negara, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 151
tahun 2000 tersebut merupakan salah satu kebijakan publik yang harus ditempuh
didalam upaya mencari figur Kepala Daerah yang mampu mengembangkan dan
melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Dimana didalamnya memuat peraturan
yang berisi serangkaian tindakan yang memiliki tujuan tertentu dan harus
diikuti serta dilaksanakan oleh pemerintah daerah dalam proses pelaksanaan
pemilihan kepala daerah.
Dengan demikian, proses pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati di Kabupaten Brebes, apabila dilaksanakan dengan berpedoman
pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000 seharusnya dapat
berjalan lancar. Akan tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa hal
tersebut belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebab proses pelaksanaan pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Brebes untuk masa jabatan tahun 2002-2007
sempat mengalami stagnasi (terhenti prosesnya). Akibatnya, proses pemilihan
Kepala Daerah di Kabupaten Brebes sempat terkatung-katung sampai tujuh bulan
lamanya, terhitung sejak tanggal 29 Mei 2002 hingga November 2002. Dimana
proses penetapan pasangan Kepala Daerah, pengesahan serta pelantikannya
tertunda-tunda dalam pelaksanaan. Padahal banyak daerah lain di propinsi Jawa
Tengah yang sudah menyelesaikan proses pemilihan Kepala Daerah.
Awalnya proses pergantian kepala daerah
di Kabupaten Brebes terjadi karena sebelumnya didahului oleh peristiwa
meninggalnya Bupati Brebes, Almarhum Tajuddin Nooraly, sebelum masa jabatannya
berakhir. Almarhum Tajuddin Nooraly terpilih sebagai Bupati untuk masa jabatan
Tahun 1998-2004, dimana pada saat itu masih berlaku ketentuan Undang-Undang No.
5 Tahun 1974.
Secara teoritis, peristiwa meninggalnya
Alm. Tajuddin Nooraly tentu sangat berpengaruh pada dinamika politik di
Kabupaten Brebes. Berbagai elemen kepentingan mulai menyiapkan strategi demi
proses peralihan kekuasaan yang sudah harus dilaksanakan untuk mengisi
kevakuman jabatan.
Partai-partai politik, melalui fraksi
masing-masing, mulai saling mengukur kekuatan dan kelemahan untuk mencalonkan
kader-kader terbaiknya untuk menduduki jabatan paling strategis di tingkat
Kabupaten. Proses tarik menarik kepentingan inilah yang kelak memunculkan
masalah. Terutama dalam ihwal pencalonan dan penetapan calon Bupati dan Wakil
Bupati Brebes masa jabatan 2002-2007.
Stagnasi pada proses pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati yang hendak diteliti penulis didasarkan pada dualisme
pencalonan yang melibatkan dua pasang calon yang berbeda dengan satu calon
Wakil Bupati yang sama, dan secara kebetulan dicalonkan oleh dua fraksi yang sama sekali berbeda.
Sebetulnya terdapat tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, dimana
terdapat dua pasangan calon yang memiliki calon Wakil Bupati yang sama.
Disamping itu, terjadi pengunduran diri oleh pasangan calon Wakil Bupati yang
sama tersebut, sehingga pada saat pemilihan berlangsung hanya diikuti oleh 1
(satu) pasangan calon saja atau calon tunggal, sebab kedua pasangan calon yang
lain dianggap gugur secara hukum, karena tidak mempunyai calon Wakil Bupati.
Dalam konteks ini, faktor diluar
peraturan memegang peranan penting yang menyebabkan terhentinya proses
pemilihan selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan lamanya. Sebab, aturan main
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dalam hal
ini PP Nomor 151 Tahun 2000 memang tidak memuat klausul yang menyebutkan
bahwa seorang calon Wakil Bupati boleh merangkap jadi pasangan calon Bupati
yang lain. Dan ironisnya, tidak ada ketentuan yang mengatur boleh atau tidaknya
pasangan calon mengundurkan diri saat menjelang pemilihan berlangsung. Jika
merujuk pada Grindle, maka tidak salah jika kemampuan aktor, dalam hal ini
anggota legislatif atau legislator, yang terlibat dalam implementasi kebijakan
sangat menentukan “merah-hijau”-nya suatu kebijakan, baik dalam proses
penyusunan (formulasi) maupun dalam proses penerapan (implementasi).
Selanjutnya setelah melewati masa
transisi dibawah kepemimpinan Pelaksana Tugas Harian (PLTH) Bupati Drs. Tri
Harjono, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Brebes
berketetapan untuk melakukan penggantian Kepala Daerah secara definitif melalui
proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang dilaksanakan satu paket
berdasarkan ketentuan perundangan yang baru.
Proses pemilihan Kepala Daerah yang
dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000 tersebut
pelaksanaannya melalui beberapa tahapan dimulai dari tahap pendaftaran,
penyaringan, penetapan pasangan bakal calon, penetapan pasangan calon, rapat
paripurna khusus, pengiriman berkas pemilihan, pengesahan, dan pelantikan.
Akan tetapi sebelum tahapan tersebut di
atas dilaksanakan, berdasarkan ketentuan pasal 7 dan 8 Peraturan Pemerintah
Nomor 151 Tahun 2000, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diberi mandat untuk
membentuk dua kepanitiaan; yakni Panitia Khusus dan Panitia Pemilihan. Panitia
Khusus dibentuk pada tanggal 31 Januari 2002 dengan Keputusan Pimpinan DPRD
Nomor 1 Tahun 2002 dengan tugas menyusun Tata Tertib Pemilihan. Selanjutnya
setelah Tata Tertib Pemilihan sebagaimana dimaksud tersusun, lantas dituangkan
dalam Peraturan Daerah yang diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah pada tanggal 14 Februari 2002 dengan Surat Keputusan Nomr 04
Tahun 2002. Tugas panitia khusus akan berakhir pada saat peraturan tata tertib
pemilihan Kepala Daerah ditetapkan.
Sedangkan dasar pembentukan Panitia
Pemilihan adalah dengan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nomor
02 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada tanggal 14 Februari 2002 dengan tugas
sebagai penyelenggara dan penanggung jawab pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Dengan wilayah tanggungjawab yang meliputi seluruh proses-proses
administrasi pemilihan Kepala Daerah. Masa jabatan panitia pemilihan akan
berakhir saat penetapan Bupati dan Wakil Bupati terpilih dilaksanakan.
Melalui rapat paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Brebes pada tanggal 14 Februari 2002, telah
dikeluarkan Surat Keputusan DPRD Nomor : 04 Tahun 2002 yang mengatur tentang
Tata Tertib Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan tahun
2002-2007 dengan perubahan dan penambahan pada beberapa pasal sebagaimana
tertuang dalam Keputusan DPRD Nomor : 07 Tahun 2002. Untuk memudahkan penulisan
dalam penelitian ini, ketentuan tersebut untuk selanjutnya akan disebut sebagai
Tata Tertib Pemilihan.
Berdasarkan peraturan diatas maka
Panitia Pemilihan memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Brebes, yang dalam melaksanakan
tugasnya menggunakan Tata Tertib Pemilihan, dengan selalu berpedoman kepada
Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000. Apabila aspek kepatuhan dijunjung
tinggi berdasarkan peraturan-peraturan sebagaimana digariskan diatas, proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang dilaksanakan satu paket itu seharusnya
dapat berjalan lancar, akan tetapi dalam kenyataannya banyak daerah yang
mengalami masalah.
Sehingga muncul pertanyaan, mengapa
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dibeberapa wilayah Kabupaten/kota dapat
berjalan lancar, sedangkan pada beberapa wilayah Kabupaten/kota lain masih
terdapat perselisihan, padahal aturan main yang digunakan sama? Berdasarkan
fenomena tersebut diatas maka dapat diasumsikan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi proses pelaksanaan kebijakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Baik faktor yang berhubungan dengan peraturan perundangan maupun
faktor diluar peraturan-perundangan.
Dalam pada itu, Kabupaten Brebes
merupakan salah satu contoh yang relevan dimana pemilihan Kepala Daerah
mengalami stagnasi (kemandekan). Mandek disini mempunyai arti, adanya kondisi
yang membuat proses pemilihan perlu dihentikan sebagai akibat ketidaksesuaian
antara praktik pemilihan dengan tata tertib pemilihan Kepala Daerah. Hal ini
diiindikasikan dengan sikap walk-out yang ditunjukkan beberapa peserta sidang paripurna DPRD Brebes
saat terjadi pengunduran diri calon Wakil Bupati, sehingga dua pasangan calon
Bupati dan Wakil Bupati lain dianggap gugur sehingga hanya ada calon tunggal.
Disamping itu, terdapat pula indikasi
bahwa implementasi kebijakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes mengalami
kesalahan, sebab dalam praktik pemilihan ada beberapa kondisi dimana penerapan
prosedur administrasi pemilihan tidak sesuai dengan aturan-aturan yang ada
dalam kebijakan peraturan pemerintah tersebut. Sehingga dalam aspek
penyelesaian masalah, panitia pemilihan cenderung lebih menekankan pada apa
yang sebenarnya terjadi pada saat kebijakan pemilihan Bupati diterapkan.
Dalam pelaksanaannya ungkapan kekecewaan
dan rasa tidak puas sebagian warga masyarakat yang diwujudkan melalui sejumlah
protes pada legislatif mengindikasikan bahwa telah terjadi kesalahan dalam
proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Brebes, faktor kesalahan
itulah yang ingin dikaji dalam penelitian ini. Baik kesalahan yang bersifat
prosedural atau segala hal yang tidak sesuai dengan tata tertib pemilihan
maupun yang bersifat human error (politicians error).
B. Perumusan
Masalah
Timbulnya permasalahan dalam proses
pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati merupakan proses dinamis yang
wajar terjadi mengingat banyaknya kepentingan yang terlibat didalamnya. Namun
demikian, secara politis, adakalanya permasalahan yang terjadi sebenarnya bukan
“masalah” tetapi dikondisikan sebagai “masalah” oleh pihak tertentu. Misalnya,
untuk sekedar mengambil contoh, sebagai perwujudan rasa tidak puas dari calon yang tidak banyak memperoleh
dukungan, dengan berbagai cara mereka menuding bahwa proses pemilihan yang
terjadi seakan-akan “bermasalah”, meski kenyataannya mungkin tak seperti yang
dituduhkan.
Untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih detail terhadap
proses pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Brebes
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000, maka fokus masalah dalam
penelitian ini akan dibatasi pada persoalan-persoalan yang bersifat
administratif dan faktor-faktor yang menyebabkannya. Berdasarkan pemikiran
tersebut, maka pokok permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah :
- Bagaimana proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007 berlangsung ?
- Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah sebagaimana tersebut
di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.
Mendeskripsikan proses pelaksanaan
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Brebes masa jabatan tahun
2002-2007.
2.
Mendeskripsikan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa
jabatan 2002-2007.
D. Kegunaan Penelitian.
1.
Kegunaan Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian
tentang implementasi kebijakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
di tingkat Kabupaten/Kota, terutama bagi ilmu Administrasi Negara, khususnya
ilmu Kebijakan Publik.
- Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan
pedoman bagi pemerintah Kabupaten Brebes dalam rangka mengimplementasikan
secara efektif kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 151 tahun 2000 terhadap
keabsahan hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat pula menjadi
referensi maupun bahan pembanding bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemilihan Kepala Daerah sebagai Kebijakan
Publik
Pembuatan kebijakan (policy making)
adalah proses yang pasti dijumpai dalam setiap sistem politik. Bahkan dapat
dikatakan bahwa produk dari setiap sistem politik adalah kebijakan (Wibawa,
1994 : 13). Pada bagian yang lain dirumuskan oleh Anderson (dalam Abdul Wahab,
1991: 12) bahwa kebijakan adalah perilaku sejumlah aktor (pejabat, kelompok,
instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang tertentu.
Friedrich (dalam Abdul Wahab, 2001: 3) menyatakan, kebijakan
adalah suatu tindakan yang mengarahkan pada yang diusulkan seseorang, kelompok
atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan. Sedang menurut Gaffar (dalam Soebiantoro,
1999 : 2), kebijakan publik pada dasarnya lahir karena adanya masalah yang
dihadapi oleh masyarakat tertentu atau masyarakat secara keseluruhan bahkan untuk
kepentingan negara sebagai organisasi. Dengan demikian kebijakan publik
merupakan jawaban atau pemecahan terhadap suatu masalah melalui tindakan yang
terarah.
Kebijakan publik dapat didefinisikan
secara berbeda-beda oleh para ahli, dari definisi yang sangat luas, misalnya
sebagaimana dikemukakan oleh Dye (1976: 28) : “public policy is whatever
government choose to do or not to do” (apapun
yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). Sedang definisi
yang lebih kongkrit dikemukakan oleh Peters (1982: 36) : “public policy is
the sum of activities of goverment, wheter acting directly or trought agents,
at is hat an influence on lives of citizens.” Sementara itu Easton (dalam
Islamy, 2001 : 19) mendefinisikan kebijakan publik sebagai : “Pengalokasian
nilai-nilai secara paksa (sah) kepada seluruh anggota masyarakat (the
authoritative allocation of the values for the whole society)”.
Apapun definisinya, dapat disimpulkan
bahwa kebijakan publik selalu berhubungan dengan keputusan-keputusan yang amat
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan konklusi
Islamy (2001: 20-21) dari berbagai definisi tentang kebijakan negara (public
policy). Dikatakannya bahwa kebijaksanaan negara adalah serangkaian
tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
kepentingan seluruh masyarakat. Pengertian ini mempunyai implikasi sebagi
berikut :
- Bahwa kebijaksanaan negara dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.
- Bahwa kebijaksanaan negara tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata.
- Bahwa kebijaksanaan negara, baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.
- Bahwa kebijaksanaan negara harus senantiasa ditujukan bagi seluruh anggota masyarakat.
Kebijakan publik menurut pandangan
penulis, adalah seperangkat aturan yang telah disepakati bersama dan ditetapkan
oleh suatu kelompok, instansi atau lembaga yang bersifat mengikat dan harus
dipatuhi oleh publik atau para anggota kelompok itu. Dalam arti kebijakan yang
mempunyai dimensi untuk meningkatkan harkat hidup orang banyak.
B. Implementasi PP Nomor 151
Tahun 2000 tentang Pemilihan Kepala Daerah
Implementasi kebijakan merupakan aspek
yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Menurut Goggin (1990:52),
implementasi sebagai proses yang untuk mempelajari berbagai hal yang berkaitan
dengan kebijakan dan menyusun kembali kebijakan tersebut. Mazmanian dan
Sabatier (dalam Abdul Wahab, 1991 : 68-69) merumuskan pendapat yang hampir
senada sebagai berikut :
Implementasi
adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar. …. Lazimnya keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas/tujuan
sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk mengatur proses
implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan
tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output
kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan pelaksana, kesediaan
dilaksanakannya keputusan–keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran. …
dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan
perbaikan-perbaikan) terhadap peraturan yang bersangkutan.
Udoji
(dalam Abdul Wahab, 2001 :59) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah
suatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan
kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian yang tersimpan di
lemari arsip kalau tidak diimplementasikan.
Berbeda dengan Goggin (1990 : 9) yang
menyatakan bahwa istilah kebijakan publik (public policy) pada akhir
dekade ini telah banyak dimaknai sebagai pembentukan atau pemakaian kebijakan (policy
formation or adoption). Bahkan pada dekade mendatang, bidang kebijakan
publik sangat ditentukan pada fokusnya tentang implementasi dan tahun 1990-an
merupakan era implementasi, sebagaimana dikatakan Goggin, “In fact, the
field of public policy in the next decade will be defined by its focus on
implementation. The ninties are likely to be the implementation era”.
Dalam pandangan penulis, implementasi
kebijakan adalah bagaimana sebuah kebijakan, baik berupa Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, atau peraturan lainnya yang telah
ditetapkan bersama itu dijalankan atau dilaksanakan dan dipatuhi oleh publiknya
guna mencapai tujuan sebagaimana yang telah digariskan dalam peraturan
tersebut.
Dalam penelitian kali ini model Marille
S. Grindle digunakan untuk memfokuskan
kajian pada tiga komponen kebijakan yaitu : tujuan kebijakan, aktivitas
penerapan, dan hasil (out comes). Aktivitas penerapan kebijakan sangat
tergantung implementability suatu program yang dapat dilihat dari isi
(konten) dan lingkungan apa yang terjadi (konteks).
Pemilihan model Grindle didasarkan pada
aktivitas dasar berupa penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000
tentang Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Brebes. Dalam arti, disamping
menelaah penerapan, penelitian ini juga berupaya melihat hasil (outcomes)
dari proses pemilihan Kepala Daerah sebagai bidang kajian implementasi. Dengan
mempertegas bidang kajian pada isi Peraturan Pemerintah tersebut diatas
mana-mana yang diterapkan dan atau isi Peraturan Pemerintah tersebut diatas mana-mana
yang tidak diterapkan sesuai dengan yang digariskan. Serta berupaya untuk
memeriksa dengan jernih dalam konteks apa Peraturan Pemerintah tersebut diatas
diterapkan.
Isi kebijakan mencakup kepentingan yang
dipengaruhi, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang
diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, pelaksanaan program kebijakan, sumber
daya yang dikerahkan. Sedangkan konteks kebijakan mencakup kekuatan,
kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa,
kepatuhan, serta daya tanggap pelaksana.
Penelitian ini juga menggunakan model
Sabatier dan Mazmanian dimana implementasi kebijakan merupakan perpaduan fungsi
tiga variabel yaitu : karakteristik masalah, struktur manajemen program yang
terencana dalam aliran-aliran, dan faktor diluar aturan. Implementasi akan
efektif apabila birokrasi pelaksanaannya mematuhi apa yang digariskan (top
down model). Atau sebaliknya dimana implementasi kebijakan selalu punya
kecenderungan untuk dipengaruhi oleh faktor diluar aturan. Termasuk dalam
kajian pemilihan Kepala Daerah Brebes yang hendak diteliti kali ini, dimana
faktor diluar aturan dianggap mempunyai peran yang lebih besar ketimbang
aturan-aturan formil itu sendiri.
Disamping model-model di atas ada pula model lain.
Dalam hal ini, Ripley (1985) menyatakan bahwa implementasi dapat dilihat dari
dua perspektif yaitu compliance (kepatuhan) dan what’s happening
(apa yang terjadi). Dari perspektif compliance (kepatuhan), kebijakan
dikatakan berhasil jika para pelaksana mematuhi petunjuk-petunjuk yang
diberikan oleh birokrasi atau yang ada di dalam kebijakan itu sendiri. Dalam
kaitan ini, keberhasilan implementasi proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes Masa Jabatan 2002-2007 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun
2000 adalah apabila para pelaksana kebijakan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Kabupaten Brebes dapat mematuhi isi atau semua pasal yang terdapat di
dalamnya. Lebih lanjut dikatakan oleh Ripley, karena perspektif ini lebih
merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasional, maka paling
tidak terdapat dua kekurangan yaitu banyaknya faktor non-birokratis yang
berpengaruh dan ada program-program yang tidak disusun dengan baik (maldesign).
Selanjutnya adalah perspektif what’s
happening, yakni suatu perspektif yang sangat berbeda dengan perspektif
kepatuhan, karena perspektif ini berasumsi adanya banyak faktor yang dapat dan
telah mempengaruhi implementasi kebijakan, dan biasanya faktor tersebut
terutama berasal dari lingkungan luar kebijakan. Berdasarkan asumsi tersebut
maka ada indikator implementasi kebijakan mulai dari diturunkan sampai dengan
diimplementasikan yang tidak harus sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam
kebijakan tersebut, sehingga titik berat perspektif ini adalah apa yang
benar-benar terjadi setelah program atau kebijakan itu diimplementasikan.
Didalam penelitian ini model compliance
bisa saja digunakan karena dalam kasus pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes masa jabatan tahun 2002-2007 tersebut, terdapat penyimpangan terhadap
peraturan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000
dan aturan pelaksanaan lainnya. Akan tetapi karena upaya penyelesaian masalah
tersebut lebih bernuansa “kreatifitas“ (political action) bagaimana para
aktor dalam memainkan peran di “panggung politik”, sehingga penulis lebih
menekankan penelitian ini pada pendekatan what’s happening yaitu lebih
difokuskan pada perspektif apa yang terjadi pada proses pemilihan tersebut.
Mitchell (dalam Staniland 2003 : 52) menyebutkan
bahwa “ sang aktor diasumsikan mempunyai properti khusus tertentu termasuk
seperangkat selera atau urut-urutan preferensi dan sebuah kemampuan untuk
membuat keputusan rasional atau kemampuan untuk memilih penyelesaian yang
paling efisien bagi dilema pilihannya” pendekatan ini, pada prinsipnya dapat
diterapkan pada berbagai situasi termasuk pada seorang pemberi suara dalam
bilik polling/TPS. Dengan demikian maka proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007 menjadi lebih menarik dikaji, karena
pada saat proses pemilihan tersebut dilaksanakan justeru terdapat
masalah-masalah yang menyebabkan proses pemilihan tersebut tertunda sampai 7
(tujuh) bulan, sehingga pernah menjadi pusat perhatian masyarakat Brebes pada
khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya.
E. Kerangka Pikir Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan ladasan
teoritik yang telah diuraikan di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian
ini dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
![]() |
|||
![]() |
|||
![]() |
|||
|
|||

|
|||
|
|||


BAB III
METODE PENELITIAN DAN ANALISIS
A.
Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini
adalah metode “deskriptif kualitatif”, selaras dengan definisi Bogdan dan Tylor
(Moleong, 2003 : 3), metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka pendekatan ini
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh, dengan demikian maka
dalam pendekatan ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke
dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari
keutuhan.
1.
Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini merupakan
pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
dilokasi penelitian baik secara langsung ataupun tidak angsung, yang terdiri
dari :
a.
Pimpinan DPRD Kabupaten Brebes
Masa Jabatan 1999-2004
b.
Anggota DPRD Kabupaten Brebes Masa
Jabatan 1999-2004
c.
Para Ketua Fraksi di DPRD
Kabupaten Brebes Masa Jabatan 1999-2004
d.
Sekretaris Daerah Kabupaten
Brebes, selaku kepanjangan tangan Gubernur untuk melaksanakan tugas Gubernur,
dalam situasi transisi kepemimpinan daerah Kabupaten Brebes.
e.
Tokoh Masyarakat, Alim Ulama dan
Para tokoh LSM/NGO (Non Government Organization) sebagai pemantau
kegiatan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes.
f.
Kalangan pers dan media massa yang
turut meliput kegiatan pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
2. Teknik
Pemilihan Informan
Teknik pengambilan sample yang dipilih
dalam penelitian ini adalah purposive sampling, atau biasa disebut
dengan sampel bertujuan. Dimana peneliti cenderung memilih informan yang
dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan
mengetahui masalahnya secara dalam. Namun demikian, informan dapat berkembang
sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (Patton
dalam Sutopo, 1995 : 21-22). Tujuannya
adalah untuk merinci kekhususan yang ada kedalam suatu konteks yang unik serta
untuk menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang
muncul.
Pendekatan yang dipilih adalah
pendekatan “bola salju”, makin lama makin banyak respondennya (Moleong, 1998 :
166). Sampel yang dipilih adalah sample yang relevan dengan fokus penelitian,
serta dianggap mengetahui dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data, serta
mengetahui secara mendalam tentang permasalahan yang akan diteliti. Pemilihan
sampel akan berakhir jika sudah terjadi pengulangan.
Satuan kajian yang ditetapkan dalam
penelitian kali ini bersifat perorangan, yang saat itu berperan dalam pemilihan
kepala daerah. Termasuk didalamnya adalah; jajaran pimpinan, anggota, serta
ketua fraksi DPRD Kabupaten Brebes masa jabatan 1999-2004, tokoh masyarakat, tokoh
LSM/NGO, jajaran pemerintahan Kabupaten Brebes, serta kalangan media. Responden
dipilih berdasarkan fokus penelitian. Yakni pribadi-pribadi yang terlibat
secara langsung dalam peristiwa pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
2002-2007. Baik yang berperan sebagai Panitia Khusus yang bertugas menyusun
tata tertib pemilihan maupun Panitia Pemilihan yang bertugas menyelenggarakan
tahap pemilihan, penetapan, pengesahan dan pelantikan. Serta unsur Pimpinan
DPRD yang bertugas memimpin jalannya rapat paripurna dalam penyelenggaraan
pemilihan maupun unsur Pimpinan Fraksi yang terlibat sebagai stake holder
dalam proses pemilihan maupun pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.
Termasuk pula diantaranya, aktivis NGO /LSM yang sejak awal terlibat aktif
dalam proses sosialisasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati maupun dalam tahap monitoring dan
evaluasi, dimana kalangan SLM banyak yang memberikan kritik dan masukan dalam
mensikapi proses maupun hasil-hasil pemilihan. Seluruhnya memiliki peranan
dalam masa transisi pemilihan kepala daerah definitif.
Pemilihan responden ini akan menjadi
fleksibel, mengingat pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bola salju.
Hal ini diperkuat oleh Patton (dalam Sutopo, 1988 : 22), yakni informan yang dipilih dapat mengajak informan
lain yang lebih tahu, maka pemilihan informan dapat berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. Berdasarkan apa yang
tertera di atas maka sifat sampling dapat dikatakan lebih berbentuk “Criterion,
based selection” daripada “Probability Sampling” (Goetz &
Lecompte dalam Sutopo, 1988 : 22).
3. Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah
Kabupaten Brebes yang difokuskan di lingkungan DPRD Kabupaten Brebes.
4. Fokus
Penelitian
Proses Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes masa jabatan 2002-2007, dalam implementasinya berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000 apabila dikaitkan dengan pendapat Mazmanian dan
Sabatier (dalam Abdul Wahab, 1990 : 51), maka pemahaman suatu implementasi
selalu berhubungan dengan apa yang senyatanya terjadi setelah program tersebut
ditegaskan, dengan demikian fokus penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan What Happening (Ripley & Franklin, 1982 ; & Ripley,
1985 : 134-138) yaitu berusaha memotret pelaksanaan kebijakan dari segala hal.
Diasumsikan bahwa implementasi kebijakan melibatkan dan dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Dengan demikian apa yang terjadi dalam implementasi jauh lebih
penting dikaji daripada mempersoalkan sesuai tidaknya implementasi dengan
keharusan-keharusan yang semestinya dilakukan. Apalagi faktor keterlibatan
aktor segenap kepentingan dan strateginya, dengan intensitas tinggi seperti
digambarkan Grindle (1994 : 25) akan turut mempengaruhi proses implementasi
kebijakan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Brebes. Sehingga fokus
penelitian dalam hal ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengenai proses pelaksanaan
(implementasi) Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000 dalam Pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan 2002-2007.
2.
Mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa
Jabatan 2002-2007.
Adapun aspek-aspek yang dikaji secara
rinci dalam fokus penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Proses
pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 151 Tahun 2000 dalam Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002 - 2007
a. Tahap
Persiapan
Tahap
Persiapan ini meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembentukan Panitia Khusus yang
bertugas menyusun Tata Tertib Pemilihan. Selanjutnya adalah pembentukan Panitia
Pemilihan yang bertugas menyelenggarakan proses pendaftaran, penyaringan
pasangan bakal calon, penetapan pasangan bakal calon dan terakhir penetapan
pasangan calon. Tahap persiapan ini dilaksanakan di DPRD Kabupaten Brebes
dengan melibatkan Panitia Khusus, Panitia Pemilihan serta Fraksi-fraksi yang
berperan dalam proses penyaringan pasangan bakal calon, penetapan pasangan
bakal calon serta penetapan pasangan calon. Tahap persiapan dilaksanakan karena
Tata Tertib Pemilihan mengharuskan keseluruhan proses dilaksanakan sesuai
dengan tata urutan yang berlaku sesuai dengan PP 151/2000.
b. Tahap
Pelaksanaan Pemilihan
Tahap Pelaksanaan Pemilihan ini meliputi
seluruh aspek pemilihan yang terdiri dari pembacaan tata urutan pemilihan yang
terdiri dari pemungutan suara, penghitungan suara, penetapan, dan pengesahan
pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih. Tahap Pelaksanaan Pemilihan
ini diselenggarakan di ruang rapat paripurna dalam Rapat Paripurna Khusus Tahap
I untuk memilih pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Brebes 2002-2007.
Aktor-aktor kebijakan yang terlibat dalam Tahap Pelaksanaan Pemilihan yakni
Panitia Pemilihan dalam hal ini Pimpinan Rapat yang memimpin jalannya
pemilihan, fraksi yang mengajukan pasangan calon berikut anggota DPRD sebagai
pemilih. Tahap Pelaksanaan Pemilihan dilakukan untuk memilih pasangan Bupati
dan Wakil Bupati Brebes 2002-2007. Pemilihan dilakukan dengan metode voting,
satu anggota satu suara, sehingga terdapat total 45 suara, sesuai dengan jumlah
keseluruhan anggota DPRD Kabupaten Brebes 1999-2004.
c. Tahap
Monitoring dan Evaluasi
Tahap Monitoring dan Evaluasi ini
merupakan kegiatan yang berupa pengawasan atas jalannya pemilihan maupun
penilaian atas jalannya pemilihan tersebut.
Monitoring dilakukan oleh aktivis NGO/LSM yang bernaung dalam beberapa
wadah untuk mengontrol jalannya pemilihan, untuk memeriksa sah tidaknya
jalannya pemilihan. Sedangkan tahap evaluasi dilakukan pasca pemilihan yang
melibatkan Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Dalam Negeri. Monitoring dan
evaluasi dilakukan untuk menakar seberapa jauh terjadi penyimpangan terhadap PP
151/2000 dan Tata Tertib Pemilihan sekaligus menilai pada titik mana telah
terjadi penyimpangan, bagaimana proses penyimpangannya, dan bagaimana solusi
yang harus dilakukan ke depan. Monitoring dilakukan dengan ikut menyaksikan
proses pemilihan, dalam hal ini termasuk pemungutan dan penghitungan suara.
Sedangkan evaluasi dilakukan dengan mengirim surat protes pada instansi yang
lebih tinggi, dalam hal ini Gubernunr Jawa Tengah dan Menteri Dalam Negeri.
Beberapa pihak yang tidak puas, dalam konteks melakukan evaluasi, bahkan
melaporkan kecurangan atau manipulasi kotak suara yang ada pada pihak
Kepolisian.
2. Faktor-faktor
yang mempengaruhi
a. Faktor Politik
Faktor politik yang mempengaruhi terdiri
dari; aktor-aktor kebijakan yang bersifat personal yang terlibat dalam proses
pemilihan, fraksi yang mengajukan pasangan calon, dalam hal ini Pimpinan Fraksi
sebagai juru bicara dan konstelasi politik terakhir yang terjadi beberapa saat
sebelum pemilihan. Dalam arti upaya dan siasat politik terakhir yang
mempengaruhi sah tidaknya, lancar tidaknya proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Brebes 2002-2007.
b. Faktor Ekonomi
Faktor Ekonomi yang mempengaruhi proses
pemilihan ini meliputi indikasi ada tidaknya politik uang dalam proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes 2002-2007. Dimana salah satu
indikatornya adalah adanya gugatan wanprestasi dari salah seorang bakal calon
terhadap beberapa anggota DPRD karena tidak memenuhi janji setelah terjadi money
politics.
Selengkapnya fokus penelitian penulis
tampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Aspek yang dikaji
NO
|
FOKUS
|
ASPEK
|
ITEM
|
1.
|
Proses pemilihan
|
1. Tahap Persiapan
|
a. Apa saja kegiatan tahap persiapan?
b. Dimana diadakan tahap persiapan?
c. Siapa saja yang terlibat dalam tahap
persiapan?
d. Mengapa tahap persiapan tersebut
dilaksanakan?
e. Bagaimana tahap persiapan
tersebut dilaksanakan?
|
2. Tahap
monitoring dan
evaluasi
|
a. Apa saja kegiatan dalam tahap monitoring dan evaluasi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah?
b. Dimana diadakan tahap monitoring dan evaluasi pemilihan kepala daerah?
c. Siapa saja yang terlibat dalam tahap monitoring dan evaluasi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah?
d. Mengapa kegiatan monitoring
dan evaluasi pelaksanaan
pemilihan kepala daerah tersebut
dilaksanakan?
e. Bagaimana tahap monitoring
dan evaluasi
pelaksanaan pemilihan kepala daerah
tersebut dilaksanakan
|
||
2.
|
Faktor yang mempengaruhi
|
1. Faktor Politik
|
a. Siapa saja aktor kebijakan yang
terlibat dalam pelaksanaan
pemilihan kepala daerah?
b. Fraksi apa saja yang
mencalonkan pasangan calon
dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah?
c. Bagaimana konstelasi politik
dalam pelaksanaan pemilihan
kepala daerah tersebut?
|
2. Faktor Ekonomi
|
a. Apa ada kecenderungan politik
uang dalam tahap
pelaksanaan
pemilihan kepala daerah?
b. Mengapa terjadi gugatan wanprestasi dari salah satu bakal calon yang gagal
terhadap anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah?
|
5. Teknik
Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif
dapat berupa manusia dengan tingkah lakunya, peristiwa, dokumen, arsip, dan
benda-benda lain. Bermacam-macam sumber data tersebut membutuhkan cara tertentu
guna mendapatkan data darinya. Strategi
pengumpulan data dalam riset kualitatif dapat dikelompokkan dalam dua cara
pokok yaitu metode interaktif dan non-interaktif (Goetz & LeCompte, dalam
Sutopo, 1988 : 23).
Metode interaktif meliputi interview dan
observasi berperan, sedangkan non-interaktif meliputi observasi tak berperan,
dan analisis isi (content analysis) dokumen dan arsip.
5.1.
Dokumentasi
Kecuali riset yang dilakukan pada masyarakat sebelum
manusia mengenal tulisan, maka informasi dokumenter sangat relevan dengan semua
bentuk studi kasus. Jenis informasi semacam ini dapat berupa surat, memoranda,
agenda, pengumunan-pengumuman, catatan rapat, proposal, progress report,
laporan studi yang pernah dilakukan ditempat yang sama, kliping berita dan juga
artikel media masa yang relevan. (Sutopo, 1988 : 23). Data meliputi catatan
kegiatan, catatan organisasi tentang biaya dalam periode tertentu, peta dan
data karakteristik geografis suatu tempat, daftar nama-nama dan komoditi yang
relevan, daftar survey misalnya data sensus, termasuk juga catatan pribadi,
misalnya catatan harian. Tidak seperti halnya bukti dokumenter, kegunaan
kumpulan arsip dapat bermacam-macam tergantung dari jenis studinya. Data ini
dapat membantu memudahkan analisis (Sutopo, 1988 : 23).
5.2.
Wawancara (interview)
Salah satu sumber informasi riset yang sangat penting
didekati dengan interview. Dalam penelitian kualitatif, sifat interview
kebanyakan “Open-Ended” dan dilakukan secara informal, guna menanyakan
pendapat responden tentang suatu peristiwa tertentu. Dalam hal-hal tertentu
peneliti dapat menanyakan pandangan responden tentang banyak hal yang sangat
bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penelitian lebih jauh. Dalam kedudukan ini
subyek studi lebih berperan sebagai informan daripada sekedar responden.
Interview informal ini dapat dilakukan pada waktu dan konteks yang dianggap
tepat guna mendapatkan data yang memiliki kedalaman, dapat dilakukan
berkali-kali sesuai dengan keperluan peneliti tentang kejelasan masalah yang
dijelajahinya. Wawancara semacam ini sering disebut wawancara mendalam atau “Indept
Interview” (Miles & Huberman, dalam Sutopo, 1988 : 24)
5.3.
Observasi (Langsung/tak berperan)
Upaya pengambilan data yang dilakukan secara sistematis melalui
pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang menjadi obyek penelitian. Guna
menjaga reabilitas studi, observasi sebaiknya tidak hanya dilakukan sekali
saja, baik secara formal maupun informal (Sutopo, 1988 : 24).
6. Jenis
Data
6.1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil
wawancara dan
observasi.
6.2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari
pengolahan arsip dan
dokumen
B. Metode Analisis
1. Validitas
Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode Triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekkan
atau sebagai pembanding terhadap data itu. (Miles & Huberman, 1922 : 434 )
Teknik Triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui
sumber lainnya. Patton (dalam Moleong 2001 : 178) Menyatakan ada empat macam
triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber,
metode, penyidik dan teori.
Dalam penelitian ini penulis mengunakan
teknik Triangulasi Sumber. Pengertian Triangulasi Sumber adalah membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton dalam Moleong, 2001
: 178). Cara mencapai hal itu adalah
dengan jalan : (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara ; (2) membandingkan apa yang orang katakan di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi; (3)
membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Dalam hal ini jangan sampai banyak
mengharapkan bahwa hasil pembandingan tersebut merupakan kesamaan pandangan,
pendapat, atau pemikiran. Sehingga yang terpenting disini ialah bisa mengetahui
alasan-alasan terjadinya perbedaan-perbedaan.
2. Teknik
Analisa
Dalam tahap analisis data tiga komponen
pokok yang harus disadari sepenuhnya oleh setiap peneliti. Tiga komponen pokok
tersebut adalah “data reduction”, “data display” dan “conclusion
drawing” (Miles & Huberman, dalam Sutopo, 1988 : 34)
a. Reduksi
Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi data (kasar) yang ada dalam catatan lapangan (fieldnote).
Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan riset, yang dimulai dari
bahkan sebelum pengumpulan data dilakukan. Data reduksi sudah dimulai sejak
peneliti mengambil keputusan (walaupun tidak disadari sepenuhnya) tentang
kerangka kerja konseptual, tentang pemilihan kasus, pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dan tentang cara pengumpulan data yang akan dipakai. Pada saat
pengumpulan data berlangsung, data reduksi berupa membuat singkatan, coding,
memusatkan tema, membuat batas-batas permasalahan dan menulis memo. Proses
reduksi ini terus berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai ditulis.
Data reduction adalah bagian dari analisis, suatu bentuk analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan
mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. Proses ini
tidak berarti kuantifikasi data seperti halnya yang dilakukan dalam riset
kuantitatif (Sutopo, 1988 : 35).
b. Data
Display
Adalah suatu rakitan organisasi
informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Dengan melihat
suatu penyajian data akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan
sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut.
Yang banyak dilakukan pada masa lalu, penyajian tetap berupa kalimat-kalimat
panjang atau ceritera. Hal tersebut akan sangat menyulitkan peneliti untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang data keseluruhan guna menyusun
kesimpulan studi, karena kemampuan manusia sangat terbatas, dalam menghadapi fieldnote
yang mungkin jumlahnya mencapai ribuan halaman. Dengan demikian susunan
penyajian data yang baik dan jelas sistematiknya akan banyak menolong peneliti
sendiri. Dalam hal ini display meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema,
jaringan kerja berkaitan kegiatan dan tabel. Kesemuanya dirancang guna merakit
informasi secara teratur supaya mudah dilihat, dan dimengerti dalam bentuk yang
kompak. Data display merupakan bagian analisis, sehingga kegiatan perencanaan
kolom dalam bentuk matriks bagi data kualitatif dalam bentuknya yang khusus,
sudah berarti memasuki daerah analisis penelitian.
c.
Penarikan Kesimpulan
Dalam awal pengumpulan data, peneliti
sudah harus mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ia temui dengan melakukan
pencatatan peraturan-peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan,
konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan sebab-akibat dan proposisi-proposisi.
Peneliti yang kompeten memegang berbagai hal tersebut tidak secara kuat,
artinya tetap bersikap terbuka dan skeptis. Namun demikian konklusi-konklusi
tersebut dibiarkan tetap disitu, yang pada awalnya kurang jelas kemudian
semakin meningkat secara eksplisit dan memiliki landasan yang kuat. Kesimpulan
akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan
yang perlu diverifikasi dapat berupa suatu pengulangan yang meluncur, cepat,
sebagai pemikiran kedua yang timbul melintas dalam pikiran peneliti pada waktu
menulis dengan melihat kembali sebentar pada fieldnote. Ia juga berupa
kegiatan yang dilakukan dengan lebih teliti, misalnya dengan berdiskusi atau
saling memeriksa antar teman untuk mengembangkan apa yang disebut konsensus antar
subyektif. Bahkan dapat juga dengan usaha yang lebih luas dengan melakukan
replikasi dalam satuan data yang lain. Pada dasarnya makna data harus diuji
validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh.
Tiga komponen analisis tersebut dapat
juga dilakukan dengan cara bahwa ketiga komponen tersebut aktivitasnya
berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus. Dalam
bentuk ini peneliti tetap bergerak diantara ketiga komponen pengumpulan data,
selama proses pengumpulan data berlangsung. Sesudah pengumpulan data kemudian
bergerak diantara data reduction, data display, conclusion
drawing, dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya.
Proses analisis semacam ini disebut model analisis interaktif (interactive
model of analysis). Kedua model tersebut merupakan model utama dalam
penelitian kualitatif. Peneliti harus menyadari sistem analisis ini agar tidak
mendapatkan kesulitan, bagaimana melakukan analisis setelah melihat data yang
sudah terlanjur sangat banyak terkumpul (Miles & Huberman, dalam Sutopo,
1988 : 37).
Untuk jelasnya model yang kedua dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

Gambar 2. Model Analisis Interaktif
Sumber : Miles & Huberman ( 1992 : 27-28 )
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Kabupaten Brebes secara geografis terletak diantara Bujur
Timur 105 °, 41’37,70° 109° 11’28,92° dan Bujur Selatan 8° 44’56,50° 7°
20’51,48°. Kabupaten Brebes merupakan kabupaten paling barat propinsi Jawa
Tengah dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan
di propinsi Jawa Barat. Sedangkan pada sisi timur berbatasan dengan Kota Tegal
dan Kabupaten Tegal, pada sisi selatan berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan
Kabupaten Cilacap serta berbatasan dengan laut Jawa di sisi utara.
Luas wilayah Kabupaten Brebes meliputi 166,187 Hektar tanah
yang terbagi dalam pelbagai jenis penggunaan lahan diantaranya untuk;
pertanian, pekarangan dan bangunan, tegalan dan kebun, padang gembala, tambak,
kolam dan rawa, hutan rakyat dan hutan negara serta perkebunan. Sedangkan
secara administratif Kabupaten Brebes terbagi dalam 17 kecamatan, 297 desa,
1.119 dukuh 1.207 RW dan 7.851 RT dengan total jumlah penduduk mencapai
1.711.654 jiwa per tahun 2002[1].
Sementara itu pendapatan perkapita Kabupaten Brebes per tahun 2002 mencapai
angka 2.289,92 harga berlaku berbanding 799,85 harga konstan per 1993. Untuk
selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel
2. Income Perkapita Kabupaten Brebes
No
|
Tahun
|
Pendapatan Perkapita (Rp.
000)
|
|
Harga Berlaku
|
Harga Konstan 1993
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
|
1998
1999
2000
2001
2002
|
1.434,96
1.575,15
2.697,93
2.018,81
2.289,92
|
711,58
776,91
759,95
768,17
799,85
|
Sumber: Basis Data Kabupaten Brebes
Tahun 2002, Bappeda Kabupaten Brebes 2002
Hal ini ditunjang dengan APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) Brebes yang menunjukkan bahwa Kabupaten Brebes mentargetkan Rp
366.000.000.000,00 sedangkan realisasinya berkisar pada Rp 370.735.240.012,00.
Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel
3. APBD / PADS / Tabungan Pemerintah Kabupaten Brebes
No
|
Uraian
|
Tahun 2001 (Rp)
|
Tahun 2002 (Rp)
|
1.
2.
3.
|
APBD Kabupaten
-
Target
-
Realisasi
PADS
-
Target
-
Realisasi
Sisa TA yang lalu
|
340.169.263.000,00
334.850.928.000,00
15.001.788.000,00
14.520.907.247,00
7.972.433.069,00
|
366.000.000.000,00
370.735.240.012.00
20.243.240.000,00
19.793.546.001,00
16.002.921.313,00
|
Sumber : Basis
Data Kabupaten Brebes Tahun 2002, Bappeda Kabupaten Brebes 2002
Sedangkan tingkat pendidikan masyarakat Brebes per Tahun 2002
menyebutkan bahwa siswa SLTP sejumlah 44.681, sedangkan jumlah siswa SLTA
mencapai 16.645 anak. Selengkapnya akan disampaikan dalam tabel tingkat
pendidikan berikut ini :
Tabel
4. Tingkat Pendidikan di Kabupaten Brebes Tahun 2001-2002
No
|
Ratio Murid / Guru Kelas
(Negeri / Swasta)
|
Tahun 2001
|
Tahun 2002
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Taman Kanak-kanak (TK)
-
Kelas
-
Murid
-
Guru
-
Ratio Murid-Guru
-
Ratio Murid-Kelas
Sekolah Luar Biasa (SLB)
-
Kelas
-
Murid
-
Guru
-
Ratio Murid-Guru
-
Ratio Murid-Kelas
Sekolah Dasar (SD)
-
Kelas
-
Murid
-
Guru
-
Ratio Murid-Guru
-
Ratio Murid-Kelas
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
-
Kelas
-
Murid
-
Guru Ratio Murid-Guru
-
Ratio Murid-Kelas
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
-
Kelas
-
Murid
-
Guru
-
Ratio Murid-Guru
-
Ratio Murid-Kelas
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
-
Kelas
-
Murid
-
Guru
-
Ratio Murid-Guru
-
Ratio Murid-Kelas
Total jumlah sekolah
|
382
7.231
867
1:16,4
1:20,2
20
26
8
1:4,5
1:3-5
6.542
215.494
6.581
1:22,8
1:35,3
955
42.904
1.883
1:22,8
1:44
379
16.804
895
1:17,1
1:41,7
148
5.962
362
1:16,5
1:40,3
2713
|
373
7.789
513
1:15,1
1:20,8
5
25
7
1:3
1:8,3
5.251
212.381
7.187
1:29,2
1:40,2
976
44.681
2.106
1:29,5
1:40,2
377
6.645
979
1:18
1:43,4
168
5.992
446
1:13,4
1:38
2713
|
Sumber
: Basis Data Kabupaten Brebes, Bappeda Kabupaten Brebes 2002
Tabel tingkat pendidikan ini
sebenarnya masih kurang jika ditilik dari ketiadaan data jumlah mahasiswa yang
tengah dan sudah selesai menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi atau
Universitas. Sebab data ihwal pendidikan tinggi dirasa cukup penting dalam
menilai seberapa concern suatu pemerintah daerah terhadap pendidikan tinggi dan
apakah terdapat fasilitas pendidikan, baik dasar, menengah maupun penididkan
tinggi yang memadai di Kabupaten Brebes ini.
Sedangkan tingkat angkatan kerja
Kabupaten Brebes dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan melebihi
jumlah lapangan kerja yang tersedia. Dalam Basis Data Bappeda Kabupaten Brebes
per tahun 2002 ditemukan angka sebesar 445.276 laki-laki yang bekerja dan
295.146 perempuan yang bekerja. Sedangkan
jumlah pencari kerja diperkirakan mencapai 35.472 untuk laki-laki dan
34.448 untuk perempuan.
Secara politik jumlah penduduk di
Brebes yang mencapai 1.711.654 merupakan konstituen yang besar dan diperebutkan
oleh partai-partai politik yang ingin memenangi pemilu, terutama pemilu 1999
lalu, sesuai dengan tahun yang relevan dimana penelitian ini dilakukan. Pemilu
pada tahun 1999 menghasilkan DPRD periode 1999-2004, dimana keanggotaan DPDR
1999-2004 adalah penyelenggara sekaligus pelaku kebijakan dalam pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007. Selengkapnya
tentang 5 (lima) besar pemenang pemilu 1999 di Kabupaten Brebes akan
ditampilkan dalam tabel berikut :
Tabel
5. Rekapitulasi Partai 5 (Lima) Besar Kabupaten Brebes dalam Pemilu 1999
No
|
Kecamatan
|
Nama Partai 5 (Lima) Besar
|
||||
PDIP
|
PKB
|
Golkar
|
PAN
|
PPP
|
||
1.
|
Brebes
|
36313
|
12971
|
9427
|
6912
|
2516
|
2.
|
Jatibarang
|
17611
|
10696
|
3619
|
1423
|
3350
|
3.
|
Wanasari
|
27086
|
22148
|
3188
|
5593
|
2632
|
4.
|
Songgom
|
13664
|
11870
|
1667
|
871
|
3585
|
5.
|
Tanjung
|
23405
|
10649
|
3352
|
1460
|
1266
|
6.
|
Bulakamba
|
36530
|
21573
|
4358
|
3188
|
5523
|
7.
|
Losari
|
29366
|
16257
|
5218
|
2853
|
3927
|
8.
|
Kersana
|
16869
|
4338
|
4428
|
291
|
1818
|
9.
|
Banjarharjo
|
31320
|
12548
|
12182
|
1579
|
2539
|
10.
|
Ketanggungan
|
24521
|
19717
|
8794
|
2191
|
6356
|
11.
|
Larangan
|
30999
|
15576
|
9858
|
2480
|
3449
|
12.
|
Bumiayu
|
11240
|
20637
|
2921
|
10786
|
1247
|
13.
|
Paguyangan
|
17066
|
17597
|
3604
|
3519
|
1294
|
14.
|
Sirampog
|
7851
|
10668
|
2148
|
5140
|
551
|
15.
|
Tonjong
|
2523
|
14019
|
3057
|
5048
|
1195
|
16.
|
Bantarkawung
|
13879
|
16898
|
6579
|
1949
|
8098
|
17.
|
Salem
|
13070
|
3371
|
6709
|
1579
|
2782
|
Jumlah
|
354213
|
241533
|
91109
|
56862
|
52128
|
Sumber
: Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Brebes 1999
Kelima besar partai pememang Pemilu
1999 inilah, yang direpresentasikan oleh fraksi maupun anggota DPRD sebagai
aktor kebijakan yang mewarnai proses-proses pengambilan kebijakan, terutama
yang berkaitan dengan proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa
jabatan tahun 2002-2007. Kelima partai ini memberikan gambaran yang terang
tentang partisipasi politik masyarakat dan afiliasi mereka terhadap
pilihan-pilihan politik yang secara kebetulan direpresentasikan oleh; PDIP,
PKB, Partai Golkar, PAN dan PPP.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Keanggotaan DPRD
Kabupaten Brebes periode 1999-2004
1. Dinamika Politik dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Seperti
diketahui publik luas, partai pemenang dalam Pemilihan Umum 1999 adalah PDIP
(Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), dengan total 33 % suara atau setara
dengan 234 kursi di DPR pusat. Hal yang sama ditunjukkan PDIP Kabupaten Brebes
yang memenangi 17 kursi di DPRD atau setara dengan 34 % suara dari total
konstituen pemilu di Kabupaten Brebes. Sedangkan partai pemenang kedua adalah
PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan 11 kursi di DPRD. Dan berturut-turut; PPP
dan PAN yang tergabung dalam Fraksi Amanat Persatuan Umat (Fraksi APU) sebanyak
7 kursi, Partai Golkar dan PNI Massa Marhaen yang tergabung dalam Fraksi Karya
Massa (Fraksi KM) sebanyak 5 kursi serta Fraksi TNI/Polri sebanyak 5 kursi.
Dengan
konfigurasi kekuatan politik semacam ini dapat dipastikan PDIP merupakan partai
mayoritas yang sering mendominasi segenap kebijakan DPRD. Paling tidak dalam
setiap pengambilan kebijakan yang menggunakan metode voting, Fraksi PDIP hampir
pasti memenangkannya, karena mayoritas suara di DPRD sering dijadikan bahan
pertimbangan oleh fraksi lain yang ingin menolak atau menentang suatu
kebijakan. PDIP sebagai partai pemenang pemilu pasti punya kecenderungan yang
besar untuk menganggap dirinya mempunyai hak yang lebih besar dari partai lain
terutama berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah. Sehingga kredo politik yang
menyatakan bahwa kader terbaik partai yang akan maju mewakili partai/fraksi
untuk memenangkan kursi Bupati dan Wakil Bupati pasti akan dipraktekkan PDIP.
Dalam arti, sejak awal PDIP seolah-olah sudah mencanangkan bahwa pertarungan
politik untuk memperebutkan jabatan Bupati dan Wakil Bupati akan jadi medan
perang bagi partai/fraksi yang berkursi banyak. Secara teoritis PKB pun
menunjukkan perilaku politik yang sama. Kekompakan kedua fraksi ini ditandai
dengan betapa seriusnya kedua partai mengajukan pasangan calon sebagai
rerpresentasi kedua partai yang bersangkutan. Hal itu pula kiranya yang membuat
Fraksi PDIP dan Fraksi KB pada akhirnya mengajukan pasangan calon yang sama;
Indra Kusuma dan HA Fariz Sulhaq SH. Indra Kusuma adalah Ketua Umum PDC PDIP
Kabupaten Brebes, sedangkan HA Fariz
Sulhaq SH adalah Ketua Umum DPC PKB Kabupaten Brebes.
Secara
umum apa yang dilakukan PDIP sebenarnya sudah bisa ditebak, dengan asumsi bahwa
komposisi suara yang memadai pasti akan mengusung calon sendiri, sehingga PDIP
tidak perlu bersusah-susah melakukan penjaringan bakal calon. Suara mayoritas
PDIP ini masih ditambah dengan another second majority, yaitu PKB yang
mendulang 11 kursi di DPRD. Jumlah suara ini sudah lebih dari memadai untuk
memenangkan pemilihan tanpa harus mengharap suara dari fraksi lain. Sebab 17
ditambah 11 suara sudah menyumbangkan 28 suara, angka yang persis menyatakan ½
+ 1 dari total 45 suara di DPRD Kabupaten Brebes.
Meskipun begitu kesetimbangan politik
sering terjadi di Kabupaten Brebes, sebab beberapa partai lain kerap
mengimbangi gerakan-gerakan politik dari duo
mayoritas ini. Mereka antara lain yang diwakili oleh Partai Golkar, PAN dan
PPP, yang secara kebetulan masuk dalam 5 (lima) besar hasil pemilihan umum
1999.
Kondisi ini sebetulnya menjadikan
dinamika politik di DPRD Kabupaten Brebes menjadi lebih berwarna, karena
persinggungan politik dalam tiap fase pengambilan kebijakan selalu dipenuhi
dengan tarik-menarik pendapat yang mewakili kepentingan masing-masing fraksi.
Hal ini berlangsung cukup lama, dalam arti proses kristalisasi antara satu
perbedaan pendapat dengan perbedaan pendapat yang lain sehingga menghasilkan
kutub-kutub kepentingan yang selalu bertentangan. Secara konkret dapat
dikatakan bahwa sudah sejak awal dalam menjalankan peran dan fungsinya DPRD
Kabupaten Brebes telah terbagi dalam 2 (dua) kutub atau poros. Kutub pertama
beranggotakan Fraksi PDIP dan Fraksi PKB sedangkan kutub kedua beranggotakan
Fraksi APU yang merupakan koalisi strategis antara PPP dan PAN, ditambah Fraksi
KM yang merupakan koalisi antara Partai Golkar dan PNI Massa Marhaen. Sedangkan
Fraksi TNI/Polri dapat dikatakan tidak memihak salah satu kutub yang sering
berseberangan ini, mungkin karena peran dan fungsi politik mereka dibatasi
sedemikian rupa oleh institusi induknya, yakni TNI dan Polri.
Dapat dikatakan dinamika politik ini
menjadi landasan betapa kinerja DPRD Kabupaten Brebes dalam menjalankan
fungsi-fungsi legislasi, monitoring maupun kontrol (check and balance system) dalam tata pemerintahan di daerah sudah
cukup berhasil. Dalam arti, semua tindakan politik DPRD Kabupaten Brebes
merupakan buah dari pergulatan politik antar fraksi dan merupakan gambaran
bagaimana peta politik riil di lapangan, terutama berkait dengan suksesi kepala
daerah. Hal itulah yang melatarbelakangi proses-proses politik dan pengambilan
kebijakan yang terjadi selanjutnya, terutama berkaitan dengan pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007.
2. Disparitas Politik dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati masa jabatan tahun 2002-2007 di Kabupaten Brebes
dilaksanakan untuk menggantikan Bupati Brebes sebelumnya, almarhum Tajuddin
Nooraly yang mangkat sebelum masa jabatannya berakhir. Proses pemilihan
dilakukan melalui Rapat Paripurna Khusus Tahap I yang dilaksanakan pada tanggal
29 Mei 2002 melalui berbagai tahapan yang sudah dipersyaratkan sebelumnya.
Proses pemilihan ini berdasarkan pada PP Nomor 151 Tahun 2000 tentang Tata Cata
Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dan Keputusan DPRD Brebes Nomor 04 Tahun 2002 tentang Tata Tertib Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007.
Awalnya semua prosedur berjalan lancar
sesuai dengan Tahapan Pemilihan seperti yang tercantum dalam Bab IV PP Nomor
151 Tahun 2000, tepatnya dari pasal 10 tentang Pembentukan Kepanitiaan s/d
pasal 22 tentang Rapat Paripurna Khusus Tahap I[2].
Prosedur standar ini secara berurutan dimulai dari tahap pembentukan
kepanitiaan, penyusunan tata tertib, pendaftaran bakal calon, penyaringan bakal
calon hingga penetapan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati. Seluruh prosedur
berjalan dengan lancar, sampai pada rapat paripurna DPRD Kabupaten Brebes
dengan agenda pengumuman penetapan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati.
Namun tidak semua proses berjalan dengan
sempurna, sebab saat prosedur mengharuskan Panitia Pemilihan untuk melanjutkan
ke tahapan pemilihan justru situasi politik berubah menjadi deadlock
akibat timbulnya permasalahan yang mengganjal dalam proses pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007. Permasalahan tersebut diatas
bermula dari pengunduran diri calon Wakil Bupati Brebes atas nama Wahyudin
Nooraly yang diajukan oleh Fraksi Amanat Persatuan Umat (FAPU) dan Fraksi Karya
Massa (FKM) sesaat sebelum Rapat Paripurna Khusus Tahap I yang mengagendakan
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dimulai.
Setelah melampaui proses pendaftaran
hingga penyaringan bakal calon, akhirnya DPRD Kabupaten Brebes menetapkan 3
(tiga) pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati. Pasangan pertama, Indra Kusuma
dan HA. Faris Sulhaq SH yang dicalonkan oleh Fraksi PDIP (Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan) dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (PKB). Pasangan kedua, H.
Djuhad Mahya SH dan Wahyudin Nooraly yang dicalonkan oleh Fraksi Amanat
Persatuan Umat (APU). Sedangkan pasangan ketiga, Suwarno Anggasuta SH dan
Wahyudin Nooraly yang dicalonkan oleh Fraksi Karya Massa (KM).
Ketika
penetapan pasangan calon sudah dilaksanakan oleh DPRD Kabupaten Brebes, tahapan
selanjutnya adalah rapat paripurna pemilihan. Dalam Rapat Paripurna Khusus
Tahap I, secara mengejutkan Wahyudin Nooraly, calon Wakil Bupati dari Fraksi
APU dan FKM mengajukan permohonan pengunduran diri beberapa menit sebelum
pemilihan dimulai. Rapat paripurna menjadi ramai oleh interupsi dari anggota
DPRD yang ditujukan pada Pimpinan rapat, dalam hal ini pimpinan DPRD, yang
mengakibatkan terjadinya silang pendapat yang tak berujung pangkal. Situasi
menjadi semakin rumit dengan diambilnya langkah walk-out oleh Fraksi
Karya Massa (KM) yang kemudian diikuti
oleh Fraksi APU setelah kedua fraksi tersebut tidak menyepakati sikap pimpinan
sidang dan fraksi lain yang menolak pengunduran diri calon Wakil Bupati.
Sebelumnya antar anggota DPRD juga sudah saling melakukan interupsi untuk
memperdebatkan apakah Wahyudin Nooraly boleh mempunyai hak berbicara sebelum
pemilihan dimulai. Sedangkan pasal 42 Tata Tertib Pemilihan hanya memberikan
hak bicara pada anggota DPRD dalam rapat paripurna pemilihan tersebut.
Sikap
politik berupa walk-out dipilih Fraksi APU dan Fraksi KM sebagai bentuk
protes atas ketidaktegasan Pimpinan rapat paripurna yang tetap beritikad melanjutkan
proses pemilihan, mengingat --menurut Fraksi APU dan Fraksi KM-- hanya terdapat
satu calon tunggal. Fraksi APU kemudian menarik pencalonan atas nama H. Djuhad
Mahya dan Wahyudin Nooraly sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati. Hal yang sama
juga dilakukan Fraksi KM yang menarik pencalonan Suwarno Anggasuta SH dan
Wahyudin Nooraly. Sedang Fraksi TNI/Polri yang tidak mempunyai pasangan calon
bersikap untuk tetap berada dalam ruang sidang meski kemudian dalam voting
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, fraksi ini memilih untuk abstain.
Setelah
situasi semakin tidak terkendali akibat interupsi yang datang bertubi-tubi,
maka Rapat Paripurna khusus Tahap I akhirnya diskors untuk menghindari deadlock
dan dilanjutkan dengan rapat pimpinan DPRD dengan seluruh unsur Pimpinan
Fraksi. Hasil rapat pimpinan memutuskan untuk melanjutkan rapat paripurna
meskipun beberapa Ketua Fraksi tidak menyetujui, dalam hal ini Fraksi APU dan
Fraksi KM.
Selanjutnya, karena pemimpin sidang
menganggap bahwa sidang paripurna masih kuorum, maka proses pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati tetap dilanjutkan. Meskipun komposisi suara yang ada jauh
berbeda jika dibandingkan saat seluruh anggota DPRD sebanyak 45 orang hadir dan
memberikan suara. Pada praktiknya sidang paripurna pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Brebes 2002-2007 hanya diikuti oleh 33 anggota DPRD. Dengan asumsi
proses pemilihan ini hanya diikuti oleh 17 orang dari Fraksi PDIP, 11 orang
dari Fraksi KB, dan 5 orang dari Fraksi
TNI/Polri, sedangkan 12 orang dari Fraksi APU dan Fraksi KM menyatakan diri walk
out. Rapat Paripurna Khusus Tahap I menghasilkan pasangan Indra Kusuma dan
HA. Faris Sulhaq, SH sebagai Bupati dan Wakil Bupati terpilih setelah
memenangkan pemilihan dengan 26 suara.
Perincian perhitungan dalam proses
pemilihan menghasilkan 26 suara untuk pasangan Indra Kusuma dan HA. Faris
Sulhaq SH, 18 suara abstain dan 1 (satu) suara rusak. Perhitungan tersebut
dengan asumsi seluruh kartu suara anggota DPRD sebanyak 45 orang tetap
dimasukkan dalam kotak suara, termasuk diantaranya 12 surat suara anggota DPRD
dari Fraksi APU dan Fraksi KM yang walk-out.
B. Proses Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes
1. Tahapan dalam Proses Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes
Narasi diatas sekadar ringkasan dari
segenap proses panjang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan
tahun 2002-2007. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes pada dasarnya
merupakan bentuk disparitas politik (perbedaan pandangan, sikap dan kepentingan
politik) yang sebetulnya wajar dalam khasanah perpolitikan di manapun di
Indonesia. Namun penelitian ini akan diupayakan untuk memeriksa apakah
disparitas ini merupakan akibat dari implementasi kebijakan yang keliru
sehingga terdapat permasalahan dalam proses pemilihan dimaksud. Kebijakan
dimaksud diatas adalah PP Nomor 151 Tahun 2000 (selanjutnya disingkat menjadi
PP 151/2000) dan Keputusan DPRD Kabupaten Brebes Nomor 04 Tahun 2002
(selanjutnya disingkat menjadi SK DPRD 04/2002). Dalam pada itu, untuk
mencermati permasalahan disparitas politik ini dan mengkaji lebih dalam
implementasi PP 151/2000 dan SK DPRD 04/2002, maka penyusunan bab ini akan
merujuk pada fokus penelitian. Dimana penjabaran fokus penelitian ini dimulai
dari proses pemilihan yang terbagi dalam 3 (tiga) tahap; tahap persiapan, tahap
pelaksanaan pemilihan dan tahap monitoring dan evaluasi. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan implementasi kebijakan dimaksud,
terdiri dari; faktor politik dan faktor ekonomi. Pembahasan secara rinci fokus
penelitian yang meliputi proses pemilihan beserta faktor-faktor yang
mempengaruhi akan diuraikan dalam narasi dibawah ini.
a. Tahap
Persiapan
1). Kegiatan yang dilaksanakan dalam Tahap
Persiapan
Tahapan pertama proses pemilihan
didasarkan pada pasal 10 PP 151/2000 yang
merupakan bagian pertama Tahapan Pemilihan, yakni Pembentukan
Kepanitiaan. Pembentukan Kepanitiaan ini terbagi menjadi 2 (dua) struktur
panitia dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang berbeda. Pertama,
Panitia Khusus yang bertugas menyusun Tata Tertib Pemilihan. Kedua, Panitia
Pemilihan yang bertugas menyelenggarakan rangkaian proses pemilihan. Panitia
Khusus Penyusun Tata Tertib Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa
Jabatan Tahun 2002-2007 dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan DPRD
Brebes Nomor 01 Tahun 2002 tanggal 31 Januari 2002.
Surat Keputusan ini merupakan landasan
yuridis pembentukan Panitia Khusus yang terdiri dari 17 orang, dimana terdapat
satu ketua dan 3 (tiga) wakil ketua, berikut anggota yang mewakili 5 (lima)
unsur Fraksi (PDIP, PKB, Karya Massa, Amanat Persatuan Umat, TNI/Polri). Tugas
dan wewenang Panitia Khusus adalah merumuskan dan menyusun rancangan tata
tertib pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007
yang akan disahkan dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPRD.
Dalam menjalankan tugasnya Panitia
Khusus dapat menerima saran, pendapat dan gagasan dari instansi pemerintah
terkait maupun dari organisasi kemasyarakatan yang ada di Kabupaten Brebes.
Panitia Khusus mempunyai masa kerja dari tanggal 1 Februari 2002 sampai tanggal
14 Februari 2002. Hal ini ini sesuai dengan pasal 11 PP 151/2000 yang
menyatakan bahwa “Penyusunan tata tertib pemilihan dilaksanakan paling lambat
14 (empat belas) hari setelah Panitia Khusus ditetapkan.”
Tabel 6. Susunan Keanggotaan Panitia Khusus Penyusun
Peraturan Tata Tertib Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Masa Jabatan Tahun 2002-2007
NO
|
NAMA
|
JABATAN DI DPRD KAB. BREBES
|
KEDUDUKAN DALAM PANITIA
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
|
Sarei Abdul
Rosyid, SIP
H. Slamet A.N, BA
HM. Sunadi Ilham
HM Nasrudin
Sukirso Bc Hk
Sukarto
Jasrody
Nurochmi
Drs. A. Rofiqi
Mashudi
H. Moh. Masduki
H. Muhajir
MA Bsc
Hambali Hasan
Agung Widyantoro
SH
H. Moh Ilman
Letkol.INF M.Syaban W
Letkol. INF.
Rikin HS
|
Ketua DPRD dari
FPDI-P
Wakil Ketua DPRD
dari Fraksi PKB
Wakil Ketua DPRD
dari Fraksi APU
Wakil Ketua DPRD
dari Fraksi KM
Anggota Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PKB
Anggota Fraksi
PKB
Anggota Fraksi
PKB
Ketua Fraksi APU
Anggota Fraksi
APU
Ketua Fraksi
Karya Massa
Anggt.Fraksi
Karya Massa
Ketua Fraksi
TNI/Polri
Anggota Fraksi
TNI/Polri
|
Ketua merangkap
anggota
Wakil Ketua merangkap anggota
Wakil Ketua merangkap anggota
Wakil Ketua merangkap
anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
|
Sumber : Dokumen Proses Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun
2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes.
Setelah Panitia Khusus terbentuk dan
selesai menjalankan tugasnya, selanjutnya DPRD Kabupaten Brebes membentuk
Panitia Pemilihan. Panitia Pemilihan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Pimpinan DPRD Nomor 02 Tahun 2002 tanggal 14 Februari 2002, dengan masa kerja
sampai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih dilantik.
Tugas, wewenang dan tanggungjawab
Panitia Pemilihan adalah melaksanakan adminitrasi yang berkaitan dengan
kegiatan pendaftaran, penyaringan bakal calon, penetapan bakal calon, yang
dilanjutkan dengan menetapkan pasangan calon dalam rapat paripurna DPRD.
Kegiatan selanjutnya adalah melaksanakan Rapat Paripurna Khusus Tahap I dan
Rapat Paripurna Khusus Tahap II.
Keseluruhan proses ini merupakan tugas,
wewenang dan kewajiban pokok Panitia Pemilihan, termasuk melaksanakan kegiatan
yang berkaitan dengan pengujian publik
apabila terdapat pengaduan. Sebab disamping sebagai penyelenggara, Panitia
Pemilihan juga sekaligus berperan sebagai penanggungjawab keseluruhan proses
pemilihan, termasuk diantaranya kegiatan adminitrasi yang berkaitan dengan
pengiriman berkas pasangan calon terpilih pada instansi yang lebih tinggi
sekaligus melaksanakan kegiatan pelantikan pasangan calon terpilih Bupati dan
Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007.
Tabel 7. Susunan
Keanggotaan Panitia Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Masa Jabatan Tahun 2002-2007
NO
|
NAMA
|
JABATAN DI DPRD KAB. BREBES
|
KEDUDUKAN DALAM PANITIA
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
|
Sarei Abdul
Rosyid, SIP
Slamet Abdullah
Nuri BA
HM. Sunadi Ilham
HM. Nasrudin
Slamet Duki S.IP
H Muhammadin
Aco Sukarso
Setiawati
Radono Walam
H. Muhadi
Nurul Huda SAg
H. Moh. Masduki
Moch Djazoeli BA
Hambali Hasan
Agung Widyantoro
SH
H. Moh Ilman
Kapten Tek
Mulyoko
Kapten Laut (E) Soemono
|
Ketua DPRD
Unsur Fraksi
PDI-P
Wakil Ketua DPRD Unsur Fraksi PKB
Wakil Ketua DPRD
Unsur Fraksi APU
Wakil Ketua DPRD
Unsur Fraksi KM
Sekretaris DPRD
Ketua Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PDI-P
Anggota Fraksi
PKB
Anggota Fraksi
PKB
Anggota Fraksi
PKB
Anggota Fraksi
APU
Anggota Fraksi
APU
Ketua Fraksi Karya Massa
Anggota Fraksi Karya Massa
Anggota Fraksi
TNI/Polri
Anggota Fraksi
TNI/Polri
|
Ketua merangkap
anggota
Wakil Ketua
merangkap anggota
Wakil Ketua
merangkap anggota
Wakil Ketua
merangkap anggota
Sekretaris bukan
anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
Anggota
|
Sumber : Dokumen Proses Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten
Brebes.
Selanjutnya, setelah Panitia Khusus
selesai melaksanakan tugasnya, maka tahap persiapan mulai dilaksanakan oleh
Panitia Pemilihan. Pertama, Panitia Pemilihan mengumumkan pendaftaran untuk
calon Bupati dan Wakil Bupati Brebes melalui media massa pada 21 Februari 2002.
Kemudian Panitia Pemilihan mulai
menerima pendaftaran calon Bupati dan Wakil Bupati yang dilengkapi dengan
seluruh dokumen persyaratan pendaftaran pada tanggal 1 – 30 Maret 2002. Panitia
Pemilihan melakukan pemeriksaan dan penelitian terakhir terhadap kelengkapan
persyaratan dan segenap dokumen yang dibutuhkan pada tanggal 30 Maret 2002,
yang juga merupakan hari terakhir pendaftaran.
Berdasarkan dokumen penerimaan
pendaftaran calon Bupati dan Wakil Bupati Brebes yang dicatat DPRD diperoleh
kurang lebih 44 orang pendaftar. Dengan komposisi; 20 orang mendaftar sebagai
calon Bupati, 15 orang mendaftar sebagai calon Wakil Bupati dan 9 orang lainnya
mendaftar sebagai calon Bupati maupun calon Wakil Bupati. Namun diantara
seluruh pendaftar hanya 17 pendaftar yang seluruh persyaratannya dinyatakan
lengkap, sedangkan sebanyak 27 orang pendaftar dinyatakan tidak melengkapi
dokumen pendaftaran.
Penyusunan daftar nama bakal calon dan
penataan berkas persyaratan sesuai nomor urut pendaftaran dilaksanakan pada
tanggal 8 April 2002 oleh Panitia Pemilihan. Selanjutnya, pada tanggal 9 April
2002 berkas-berkas pendaftar diserahkan oleh Panitia Pemilihan pada
masing-masing fraksi dengan berita acara yang disusun secara urut dilengkapi
dokumen administrasi bakal calon.
Tahap berikutnya, Panitia Pemilihan
mempersilahkan masing-masing fraksi untuk melaksanakan penyaringan tahap I
bakal calon, yang dimulai dari tanggal 10 s/d 24 April 2002. Sebab menurut PP
151/2000 pasal 1 ayat (6), pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati yang
dipilih dan ditetapkan oleh fraksi melalui penyaringan sebagai pasangan bakal
calon. Untuk penelitian dokumen, masing-masing fraksi menerima dan menampung
aspirasi dari perorangan, masyarakat, organisasi sosial politik dan lembaga
kemasyarakatan lainnya. Penyaringan tahap I sesuai dengan ketentuan PP 151/2000
pasal 16 ayat (4) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari.
Penyaringan tahap II sebagai kelanjutan
dari penyaringan tahap I dilaksanakan pada 25 April s/d 9 Mei 2002, dengan
rumusan kerja untuk menyeleksi kelengkapan dan keabsahan administrasi,
kemampuan, kepribadian, serta penyampaian visi, misi, dan rencana kebijakan.
Berdasarkan hasil pengujian kemampuan dan kepribadian bakal calon,
masing-masing fraksi berhak menetapkan paling banyak 2 (dua) pasangan bakal
calon. Penyaringan tahap II ini berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari.
Pada tahap pemeriksaan selanjutnya,
Panitia Pemilihan membuat berita acara yang berkesimpulan bahwa jumlah
pendaftar tetap sebanyak 44 orang. Namun jumlah yang memenuhi persyaratan
bertambah menjadi 40 orang dan hanya 4 (empat) orang yang dinyatakan tidak
memenuhi persyaratan. Dengan komposisi; 18 orang pendaftar untuk calon Bupati,
14 orang pendaftar untuk calon Wakil Bupati dan 8 orang pendaftar untuk calon
Bupati maupun calon Wakil Bupati.
Kemudian pada tanggal 10 Mei 2002,
fraksi-fraksi diminta untuk menyampaikan pasangan bakal calon dalam Rapat
Paripurna Khusus DPRD, dengan batasan masing-masing fraksi hanya boleh
mengajukan 2 (dua) pasangan bakal calon. Seluruh fraksi sudah menetapkan
pasangan bakal calon, kecuali Fraksi TNI/Polri yang tidak mengajukan pasangan
bakal calon dan menyatakan mendukung pasangan bakal calon dari fraksi lain.
Tabel 8. Nama-nama Pasangan Bakal Calon Bupati dan Wakil
Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun
2002-2007 yang Disampaikan oleh Fraksi-Fraksi DPRD Kabupaten Brebes
NO
|
FRAKSI
|
PASANGAN BAKAL CALON
|
|
BUPATI
|
WAKIL BUPATI
|
||
1.
|
PDI Perjuangan
|
1. Indra Kusuma
2. Indra Kusuma
|
1. HA. Faris Sulhaq, SH
2. Syamsul Bayan, SH. MH
|
2.
|
Kebangkitan Bangsa
|
1. Indra
Kusuma
2. HA.Faris Sulhaq, SH
|
1. HA. Faris Sulhaq, SH
2. HM. Nasrudin
|
3.
|
Amanat Persatuan Umat
|
1. H. Djuhad
Mahya, SH
2. Ir.
Budhi Antoro
|
1. HM. Nasrudin
2. dr. Taufiq Abdul Hakim
|
4.
|
Karya
Massa
|
1. H.
Djuhad Mahya, SH
2. Suwarna Anggasuta, SH
|
1. HM.
Nasrudin
2. Wahyudin Noor Aly
|
5.
|
TNI/Polri
|
- Tidak
mengajukan
- Mendukung yang dicalonkan Fraksi lain
|
-Tidak mengajukan
|
Sumber : Dokumen Proses Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten
Brebes.
Setelah penyampaian pasangan bakal calon oleh fraksi-fraksi dalam Rapat
Paripurna Khusus DPRD dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah penyampaian visi,
misi dan rencana kebijakan oleh pasangan bakal calon di hadapan Rapat Paripurna
DPRD pada tanggal 13 Mei 2002. Kemudian pada tanggal 15 Mei 2002, Panitia
Pemilihan menyelenggarakan rapat antara Pimpinan DPRD dan Pimpinan Fraksi untuk
menetapkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dengan kriterium, minimal 2
(dua) pasang calon dan maksimal 5 (lima) pasang calon, dimana masing-masing
fraksi hanya berhak mencalonkan 1 (satu) pasangan calon. Hal ini kemudian
ditetapkan dalam Keputusan DPRD Kabupaten Brebes Nomor 11 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) pasang calon Bupati dan Wakil Bupati yang
masing-masing pasangan calon diajukan oleh 3 (tiga) fraksi yang berbeda. Pada tanggal
16 Mei 2002 DPRD melaksanakan Rapat Paripurna Khusus untuk menetapkan pasangan
calon Bupati dan Wakil Bupati. Namun ada hal yang unik dan menarik, terutama
berkaitan dengan munculnya satu calon Wakil Bupati atas nama Wahyudin Nooraly
yang diajukan oleh dua fraksi yang berbeda, Fraksi APU dan Fraksi KM. Setelah
ditetapkan dalam Rapat Paripurna Khusus DPRD, Panitia Pemilihan memberitahukan
perihal nama-nama pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati pada Gubernur Jawa
Tengah pada tanggal 17 s/d 21 Mei 2002.
Tabel 9. Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Masa Jabatan 2002-2007 yang Diajukan Fraksi-Fraksi DPRD Kabupaten Brebes.
NO
|
FRAKSI
|
PASANGAN CALON
|
|
BUPATI
|
WAKIL BUPATI
|
||
1.
|
PDI Perjuangan
|
Indra Kusuma
|
HA. Faris Sulhaq, SH
|
2.
|
Kebangkitan Bangsa
|
Indra Kusuma
|
HA.
Faris Sulhaq, SH
|
3.
|
Amanat Persatuan Umat
|
H. Djuhad
Mahya, SH
|
Wahyudin Noor Aly
|
4.
|
Karya
Massa
|
Suwarna Anggasuta, SH
|
Wahyudin Noor Aly
|
5.
|
TNI/Polri
|
- Tidak
mengajukan
- Mendukung yang dicalonkan fraksi lain
|
-Tidak mengajukan
|
Sumber : Dokumen Proses Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes.
Pada tanggal 22 Mei 2002 Pimpinan DPRD
mengadakan rapat dengan Pimpinan Fraksi untuk menentukan waktu pelaksanaan
Rapat Paripurna Khusus Tahap I. Selanjutnya, pada tanggal 23 Mei 2002, Panitia
Pemilihan mengadakan rapat persiapan yang membahas hal-hal teknis dan
operasional dalam pelaksanaan pemilihan. Semua kegiatan pada dasarnya
diselenggarakan oleh Panitia Pemilihan dan DPRD, terkecuali untuk tahap
penyaringan yang hanya dilakukan oleh masing-masing fraksi. Seluruh kegiatan
pada tahap persiapan ini mengambil lokasi di kantor DPRD Kabupaten Brebes.
Tahap persiapan yang memakan waktu
sekitar 4 (empat) bulan ini, terhitung sejak 21 Februari s/d 22 Mei 2002,
bukannya berlangsung tanpa masalah. Sebab Wahyudin Nooraly, calon Wakil Bupati
yang mengundurkan diri sebelum agenda pemilihan berlangsung, punya pandangan
lain. Terutama berkait dengan proses penyaringan dan penetapan calon yang
dianggap manipulatif. Setidaknya demikian menurut Wahyudin Nooraly.
“Saya kecewa pada saat diuji di Fraksi PDIP dan di Fraksi PKB. Saat itu
saya mengira mereka sudah punya calon, karena mereka terlihat tidak serius
menguji. Pertama, dari 17 anggota fraksi PDIP, yang hadir hanya 5 (lima) orang.
Artinya bagaimana mereka memberikan penilaian terhadap saya jika yang menguji
hanya 5 (lima) orang, sedangkan yang memutuskan nanti 17 orang.[3]”
Kritik ini memang tidak ditujukan pada
Panitia Pemilihan, melainkan pada 2 (dua) fraksi yang bersangkutan; Fraksi PDIP
dan Fraksi KB. Secara teoritis Fraksi PDIP dan Fraksi KB memang sudah
menyiapkan calon sendiri yang sudah disepakati bersama dalam organisasi
kepartaian masing-masing. Nama Indra Kusuma memang sudah muncul jauh sebelum
FPDIP melakukan penyaringan, sebab Indra Kusuma sudah terlebih dahulu
memenangkan dukungan dari seluruh PAC (Pengurus Anak Cabang) PDIP dalam
Rakercabsus (Rapat Kerja Cabang Khusus)
yang digelar jauh-jauh hari sebelum proses pencalonan dan pemilihan Bupati
dimulai.
H. Muhammadin, ketua Fraksi PDIP DPRD
Kabupaten Brebes periode 1999-2004 tidak memungkiri hal ini. Sebab, menurutnya
dimana-mana fraksi hanyalah kepanjangan tangan partai di lembaga legislatif.
Itulah kenapa, ketika Indra Kusuma yang juga merupakan Ketua DPC Dewan Pimpinan
Cabang (DPC) PDIP dipilih secara aklamasi dalam Rakercabsus dijadikan landasan
yuridis dalam memunculkan nama bakal calon. Sebuah proses penyaringan internal
yang memberi amanat pada kader terbaik partai yang lazim dilakukan oleh hampir
semua partai politik di Indonesia.
“Dimana kader yang bisa diusung harus mendapatkan rekomendasi dari
organisasi. Ya karena kita sebagai kader, apapun bentuknya, siapapun orangnya,
yang penting mendapatkan rekomendasi dari DPP, itulah yang kita usung,“
demikian Muhammadin[4].
Demikian pula yang terjadi di tubuh PKB.
Seperti halnya Indra Kusuma yang di-anakemas-kan PDIP, Faris Sulhaq pun
mengalami hal yang tidak jauh berbeda. Jabatan strategis Faris Sulhaq sebagai
ketua DPC PKB memungkinkannya mendapat perlakuan khusus dari partai. Meski
begitu, Drs. Ahmad Rofiqi menganggap proses perumusan bakal calon dari PKB
tetap demokratis, karena sebelumnya sempat muncul 6 (enam) nama yang kemudian
diseleksi. Ironisnya dari keenam nama ini hampir 4 (empat) diantaranya berasal
dari induk partainya sendiri, yakni PKB. Secara berturut-turut, keempat bakal
calon Bupati dari PKB antara lain; HA. Faris Sulhaq SH, H. Slamet Abdullah Nury
BA, Andi Najmi, dan Drs. Nopal Najib, yang secara struktural memegang jabatan
strategis di DPC PKB Kabupaten Brebes.
“Faris itu paling mendekati kenyataan visi misinya. Kita terbuka.
Tetapi kan kita juga bergerak di dalam politik kepentingan. Faris ketua DPC
PKB, Andi Najmi Wakil Ketua DPC PKB, Slamet Abdullah Nury juga wakil ketua.
Kalau pendekatan partai tentu saja bagaimana kadernya bisa lolos. Minimal
sampai balon maksimal sampai jadi. Karena masing-masing faksi punya jago, ya
akhirnya voting. Partai kalau mau berhasil sebaiknya hanya meloloskan satu calon
saja. Biar suara fraksi tidak terpecah,
untung jika bisa mengambil suara fraksi lain, padahal fraksi lain juga punya
calon sendiri, “ demikian Ahmad Rofiqi[5].
Merujuk pada perspektif Ahmad Rofiqi,
dapat dipahami bahwa PKB belum berpaling dari paradigma lama bahwa kader
terbaik partai harus dikedepankan. Meskipun mereka harus tetap patuh pada
aturan main, dimana tiap fraksi harus mengadakan penyaringan pada tiap-tiap
bakal calon Bupati maupun Wakil Bupati. Akan tetapi aturan tinggal aturan.
Proses penyaringan memang tetap dilakukan, tapi suara akhir hampir pasti tetap
akan diberikan pada kader terbaik partai. Sehingga hal ini memunculkan
kemungkinan terjalinnya koalisi antara Fraksi PDIP dan Fraksi KB dengan
argumentasi bahwa kedua fraksi sama-sama mendasarkan pada itikad bersama untuk
menyatukan dua kader terbaik partai untuk merebut kursi kepemimpinan daerah.
Sekadar mengingatkan, H. Rois Qadim,
mantan wakil ketua DPRD Kabupaten Brebes, justru menyoroti perilaku partai
politik yang membatasi diri figur calon Bupati harus dari kalangan pengurus
parpol bersangkutan. Dia khawatir, bila itu terjadi akan menjegal langkah calon
lain yang sebenarnya lebih baik dan sesuai dengan harapan masyarakat[6].
Secara sederhana dapat dipahami bahwa
apa yang dikeluhkan Wahyudin Nooraly merupakan akibat dari belum bergesernya
paradigma lama untuk mendorong kader sebagai representasi partai dalam
perebutan kepemimpinan daerah. Pola ini akan membawa trickle down effect pada
keengganan calon pemimpin dari elemen lain maupun pribadi yang tidak berasal
dari partai politik untuk maju sebagai calon Bupati maupun calon Wakil Bupati.
Prinsip ini juga mengebiri aturan main yang mengharuskan pendaftar mencalonkan
diri melalui fraksi, dan mengalami serangkaian proses administratif termasuk pemaparan
visi, misi dan rencana kebijakan. Jika 2 (dua) fraksi yang disebut diatas sudah
mempunyai calon yang sudah disiapkan sebelumnya, maka bukankah akan sia-sia
belaka jika ada pendaftar yang ingin maju sebagai bakal calon dari fraksi yang
besangkutan. Setidaknya demikian menurut Wahyudin Nooraly.
Secara keseluruhan dapat dipastikan
tahap persiapan ini tidak mempunyai kendala yang berarti. Keseluruhan tahap
persiapan berjalan dengan lancar dan tepat waktu, dengan masing-masing stake
holder menjalankan fungsi dan perannya masing-masing dengan baik. Panitia
khusus menyelesaikan penyusunan tata tertib pemilihan. Panitia Pemilihan
kemudian melanjutkan tugas Panitia Khusus dengan menyusun jadwal, membuka
pendaftaran, melaksanakan tahap penyaringan dan bersama-sama fraksi melakukan
penetapan pasangan bakal calon dan penetapan pasangan calon.
2). Tempat tahap persiapan dilakukan
Seluruh kegiatan dalam tahap persiapan
ini dilakukan di lingkungan DPRD Kabupaten Brebes.
3). Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap persiapan
Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap
persiapan ini antara lain; Panitia Khusus yang bertugas dalam menyusun Tata
Tertib Pemilihan, Panitia Pemilihan yang bertugas menyelenggarakan tahap
pendaftaran, pemeriksaan berkas, penyaringan, penetapan pasangan bakal calon
dan penetapan pasangan calon. Fraksi juga memegang peranan penting dengan ikut
melakukan proses penyaringan untuk menentukan siapa pasangan bakal calon dan
pasangan calon yang akan mewakili partai mereka.
Tahap persiapan ini juga ikut disemarakkan
dengan adanya program sosialisasi yang dilalukan oleh Gawat (Gerakan Aliansi
Wakil Masyarakat), sebuah LSM yang konsern pada persoalan pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati melalui dialog interaktif yang digelar seminggu 2 (dua) kali
di radio Pop FM Brebes.
4). Alasan kenapa tahap persiapan dilakukan
Pelaksanaan tahap persiapan ini
didasarkan pada PP 151/2000, terutama pasal 10 s/d pasal 20, yang berisi tata
urutan tahap persiapan yang dimulai dari; pembentukan kepanitiaan, baik Panitia
Khusus maupun Panitia Pemilihan, penyusunan tata tertib, pendaftaran,
penyaringan tahap I, penyaringan tahap II, penetapan pasangan bakal calon dan
penetapan pasangan calon.
5). Bagaimana tahap persiapan dilakukan
Tahap
persiapan dilakukan sepenuhnya oleh Panitia Khusus yang dilanjutkan dengan
Panitia Pemilihan dengan menyelenggarakan tata urutan tahap persiapan sesuai
dengan PP 151/2000. Pelaksanaan tahap persiapan ini memakan waktu kurang lebih
4 (empat) bulan untuk menyelesaikan seluruh proses dari mulai pendaftaran, penyaringan
hingga penetapan.
Proses persiapan ini dilakukan dengan
cara menyelesaikan segenap urut-urutan tahap persiapan yang diawali dengan
pembentukan kepanitiaan dan diakhiri ketika Panitia Pemilihan sudah menetapkan
pasangan calon. Setidaknya hingga proses gladi resik pemilihan yang diadakan
pada 1-2 hari sebelum pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan
tahun 2002-2007 dilaksanakan. Seluruh proses di tahap persiapan dikerjakan
dengan itikad untuk memenuhi satu demi satu tahapan yang telah digariskan dalam
PP 151/2000 yang mengamanatkan dilakukannya tahap persiapan sebelum tahap
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dimulai.
b. Tahap Pelaksanaan Pemilihan
1). Kegiatan yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan pemilihan
Tahap pelaksanaan pemilihan merupakan
tahap yang paling krusial dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Karena pada tahap inilah terjadi
kekacauan proses politik yang mengakibatkan terjadinya stagnasi
(kemandegan) akibat tidak ada kompromi politik antara pihak yang pro terhadap
proses dan hasil pemilihan dan pihak yang kontra terhadap proses dan hasil
pemilihan.
Sebelum memasuki tahap pelaksanaan
pemilihan, Panitia Pemilihan melakukan persiapan teknis pemilihan pada tanggal
24 s/d 26 Mei 2002, termasuk mengadakan gladi kotor dan gladi bersih pemilihan
pada tanggal 27 Mei 2002 atau 2 (dua) hari menjelang pemilihan.
Panitia Pemilihan menyelenggarakan Rapat
Paripurna Khusus Tahap I pada hari Rabu tanggal 19 Mei 2002, dengan
masing-masing fraksi mengajukan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dan
anggota DPRD selaku pemilih sebagai pihak yang berkepentingan dalam tahap
pelaksanaan pemilihan. Dengan menarik asumsi bahwa fraksi beserta anggota fraksi didalamnya
adalah aktor-aktor kebijakan yang sesungguhnya dan benar-benar terlibat dalam
implementasi kebijakan PP 151/2000 tentang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Proses ini pada dasarnya adalah lanjutan dari tahap persiapan yang telah
berhasil menetapkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang diajukan oleh masing-masing
fraksi dan sudah ditetapkan dalam Rapat Paripurna Khusus DPRD penetapan
pasangan calon.
Rapat Paripurna Khusus Tahap I
berdasarkan SK DPRD 48/2002 memuat Tata Urutan Acara yang berturut-turut
sebagai berikut[7] :
1.
Prakata pimpinan rapat.
2.
Pembacaan berita acara hasil
penelitian dokumen administrasi pasangan calon oleh Sekretaris DPRD Kabupaten
Brebes.
3.
Pembacaan tata cara pemungutan dan
perhitungan suara oleh Sekretaris DPRD Kabupaten Brebes.
4.
Persiapan Panitia Pemilihan.
5.
Pemanggilan saksi-saksi dari tiap
fraksi.
6.
Pengambilan dan pendistribusian
berkas-berkas dan peralatan yang akan digunakan.
7.
Pemeriksaan bilik suara dan kotak
suara oleh saksi-saksi.
8.
Pemeriksaan jumlah dan keabsahan
kartu suara oleh Panitia Pemilihan didepan saksi-saksi.
9.
Penyerahan kartu suara yang akan
digunakan kepada Pimpinan Rapat oleh Panitia Pemilihan.
10.
Penempatan kotak suara dan
penyerahan kunci kotak suara kepada Pimpinan Rapat oleh Panitia Pemilihan.
11.
Penandatanganan kartu suara oleh
Pimpinan DPRD Kabupaten Brebes dan pembubuhan cap/stempel.
12.
Pelaksanaan pemberian suara dengan
cara memanggil Anggota DPRD Kabupaten Brebes sesuai nomor urut absensi oleh
Pimpinan Rapat.
13.
Persiapan perhitungan suara.
14.
Pemanggilan saksi-saksi oleh
Pimpinan Rapat.
15.
Pembukaan kotak suara dan mengeluarkan
serta menghitung jumlah kartu suara di hadapan saksi-saksi oleh Panitia
Pemilihan.
16.
Penghitungan suara dengan
membacakan satu persatu kartu suara dan diumumkan / diucapkan di hadapan Rapat
Paripurna Khusus Tahap I DPRD Kabupaten Brebes oleh Panitia Pemilihan.
17.
Pembacaan hasil perhitungan suara
dari papan pencatat oleh Panitia Pemilihan.
18.
Penandatanganan berita acara
penghitungan suara oleh Pimpinan Rapat dan saksi-saksi.
19.
Pembacaan berita acara
penghitungan suara oleh Pimpinan Rapat.
20.
Pernyataan Pimpinan Rapat bahwa
hasil pemilihan dinyatakan sah.
21.
Penyerahan kotak suara yang berisi
dokumen pemilihan dan kunci kepada Pimpinan Rapat.
22.
Penyerahan kotak suara kepada
Ketua Pengadilan Negeri Brebes oleh Pimpinan Rapat.
23.
Penandatanganan berita acara penyerahan
oleh Pimpinan Rapat dan Ketua Pengadilan Negeri Brebes.
24.
Kata-kata penutup Pimpinan Rapat.
25.
Rapat selesai dan ditutup.
26.
Pemberian ucapan selamat kepada
pasangan calon terpilih.
2).
Tempat tahap pelaksanaan pemilihan
dilakukan
Semua peristiwa dalam tahap pelaksanaan
pemilihan berlangsung di ruang rapat paripurna gedung DPRD Kabupaten Brebes
dalam Rapat Paripurna Khusus Tahap I untuk memilih pasangan calon Bupati dan
Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007.
3). Pihak
yang terlibat dalam tahap pelaksanaan pemilihan
Elemen utama yang terlibat dalam tahap
pelaksanaan pemilihan tentu saja Panitia Pemilihan yang bertanggung jawab
terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan pemilihan. Disamping itu juga
terdapat unsur Pimpinan DPRD sebagai pimpinan rapat paripurna, fraksi selaku
elemen yang mengajukan pasangan calon, anggota DPRD selaku pemilih dan unsur stake
holder yang terdiri dari; LSM, tokoh masyarakat, ulama, insan pers dan
perwakilan dari ormas maupun kelompok kepentingan lain yang ada di masyarakat.
4). Alasan
kenapa tahap pelaksanaan pemilihan dilakukan
Tahap pelaksanaan pemilihan dilakukan
untuk memilih pasangan calon Bupati dan Wakikl Bupati Brebes 2002-2007 sesuai
dengan amanat PP 151/2000 pasal 22 yang diselenggarakan dalam Rapat Paripurna
Khusus Tahap I. Dalam rapat paripurna tersebut disyaratkan dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPRD, dengan pola pemilihan yang bersifat
langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.
5). Bagaimana
tahap pelaksanaan pemilihan dilakukan
Tidak semua tahapan tata urutan acara
pemilihan bisa berjalan lancar. Karena masing-masing tahapan mempunyai tipologi
kendala yang berbeda-beda. Untuk tahapan pelaksanaan pemilihan ini, kendala
utama terletak pada terjadinya deadlock akibat munculnya 2 (dua) macam
perdebatan sesaat sebelum agenda pemilihan berupa pemungutan suara dimulai.
Pertama, adanya permohonan interupsi dari Wahyudin Nooraly, calon Wakil Bupati
dari Fraksi APU dan Fraksi KM kepada Pimpinan Rapat yang akhirnya ditolak. Dan
kedua, pengunduran diri calon Wakil Bupati atas nama Wahyudin Nooraly sesaat
sebelum pemilihan dimulai.
Pada saat itu, Rapat Paripurna Khusus
Tahap I baru saja dibuka oleh Pimpinan DPRD, dengan agenda protokoler sidang
berupa pembacaan berita acara penelitian berkas persyaratan administratif dan
tata cara pemungutan dan penghitungan suara. Ketika pembacaan berita acara
penelitian dokumen dimaksud akan dilaksanakan, Wahyudin Nooraly meminta
kesempatan interupsi.
Sehingga Rapat Paripurna Khusus Tahap I
yang baru saja dimulai tersebut menjadi sarat dengan permohonan interupsi dari
angggota DPRD yang memperdebatkan boleh tidaknya Wahyudin Nooraly mengajukan
interupsi. Pada awalnya Pimpinan rapat menolak karena dalam Tata Cara
Pelaksanaan Pemilihan hanya anggota DPRD yang bisa mengajukan ijin bicara, hal
ini didasarkan pada pasal 42 SK DPRD 04/2002.
Kemudian H. Muhadjir. MA, BSc, ketua
Fraksi APU, mengajukan interupsi dan memohon agar calon Wakil Bupati diberi
ijin untuk berbicara. Hal ini disanggah oleh Drs. H. MA. Nopal Najib, anggota
Fraksi KB yang menegaskan bahwa yang mempunyai hak interupsi hanya anggota
DPRD.
Perdebatan antar anggota DPRD ihwal
boleh tidaknya calon Wakil Bupati interupsi belum berhenti, meskipun sempat
terdapat jeda untuk membacakan berita acara oleh sekretaris DPRD. Pembacaan
berita acara penelitian berkas persyaratan administrasi dimaksud dilanjutkan
dengan pembacaan tata cara pemungutan dan penghitungan suara dalam rangka
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes 2002-2007.
Secara umum subtansi perdebatan mengarah
pada boleh tidaknya calon Wakil Bupati berbicara. Sampai akhirnya Ketua Fraksi
KM mengajukan interupsi yang menyatakan:
“Kami meminta kepada Pimpinan
Sidang untuk ditanyakan kepada masing-masing pasangan calon yang ada disini,
apakah masing-masing pasangan calon ini bersedia atau tidak? Kami juga minta
kepada Pimpinan Sidang untuk menanyakan kesiapan. Disini ada 3 pasangan calon,
kita belum tahu maksud apa yang ingin disampaikan tadi (oleh calon Wakil Bupati
yang ingin interupsi), siapa tahu calon Wakil Bupati ini akan memilih salah
satu pasangan Bupati, bisa saja kan?[8]”
Proses interupsi belum juga berhenti.
Penolakan atas argumentasi Ketua Fraksi Karya Massa disampaikan oleh Sukarto,
anggota Fraksi PDIP yang intinya menyatakan bahwa kesediaan calon Wakil Bupati
dan Bupati sudah bukan saatnya dipertanyakan, sebab penetapan pasangan calon
sudah diparipurnakan. Jika proses tersebut harus diulang maka itu sama saja
tidak menghormati keputusan DPRD.
Perdebatan tidak kunjung selesai sampai
pada akhirnya Jasrody, anggota DPRD dari Fraksi PDIP meminta pada Pimpinan
rapat agar apa yang ingin disampaikan calon maupun pasangan calon disampaikan
dulu pada fraksi yang bersangkutan yang mengajukan. Jadi bukan pasangan calon
langsung yang berbicara, tapi disampaikan melalui Pimpinan Fraksi.
Berbekal argumentasi yang diajukan
Jasrody dan persetujuan Pimpinan Rapat, H. Muhadjir. MA, BSc mengajukan
interupsi yang isinya berupa pembacaan “interupsi” tertulis yang sebelumnya
dipersiapkan akan dibacakan sendiri oleh Wahyudin Nooraly.
Surat pengunduran diri Wahyudin Nooraly
ini ditujukan pada Ketua Panitia Pemilihan, Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten
Brebes dan seluruh rakyat Kabupaten Brebes, dengan perihal “Pengunduran Diri
dari Calon Wakil Bupati.” Sedangkan inti surat pengunduran diri berkisar
tentang keberatan-keberatan yang diajukan Wahyudin Nooraly terhadap Panitia
Pemilihan dan oknum anggota DPRD. Pertama, ihwal indikasi adanya money
politics yang dilakukan oleh oknum anggota dewan dari salah satu calon
Bupati dan Wakil Bupati. Kedua, tidak diindahkannya surat dari Pangdam IV
Diponegoro pada Panitia Pemilihan soal 4 (empat) anggota Fraksi TNI/Polri yang
sudah memasuki masa pensiun/purnawirawan. Karena sudah pensiun maka suara
anggota DPRD tersebut menjadi tidak sah jika diberikan pada Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah), sehingga hasil pemilihan bisa cacat hukum. Ketiga, tidak adanya
tindakan apapun terhadap perilaku anarki yang dilakukan oleh sekelompok orang
yang mengaku sebagai Satgas (Satuan Tugas) partai politik pendukung satu calon
Bupati dan Wakil Bupati[9].
Keempat, Wahyudin Nooraly beranggapan
bahwa ketua Panitia Pemilihan lebih mementingkan urusan partai ketimbang tugas
dan tanggung jawabnya sebagai ketua Panitia Pemilihan. Dengan memilih
menghadiri undangan rapat partai di Semarang, padahal pada saat yang sama
Panitia Pemilihan sedang mengadakan rapat terakhir untuk persiapan pemilihan.
Kelima, masih terjadi persoalan di internal Fraksi APU menyangkut pemasangan
calon Bupati. Keenam sekaligus poin terakhir, Wahyudin Nooraly ingin menegaskan
bahwa langkah pengunduran dirinya merupakan buah dari masukan yang diberikan
masyarakat yang berharap agar pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes dapat
berjalan dengan bebas dan rahasia, serta bebas dari pengaruh politik uang[10].
Selanjutnya surat pengunduran diri ini
dikuti dengan penarikan H. Djuhad Mahya SH dan Wahyudin Nooraly sebagai calon
Bupati dan Wakil Bupati dari Fraksi APU yang diucapkan oleh H. Muhadjir. MA
BSc. Setelah surat pengunduran diri dibacakan dan diikuti penarikan calon
Bupati dan Wakil Bupati dari Fraksi APU, respon mulai ramai bermunculan.
Sebagian besar anggota DPRD, terutama yang berasal dari Fraksi PDIP dan Fraksi
KB menolak dengan tegas. Interupsi berlangsung saling bersahut-sahutan dengan
inti yang sama; menolak pengunduran diri Wahyudin Nooraly.
Interupsi yang sambung menyambung belum
lagi mereda ketika Ketua Fraksi KM melakukan interupsi yang berisi pengumuman
tentang penarikan Suwarno Anggasuta SH dan Wahyudin Nooraly sebagai calon
Bupati dan Wakil Bupati. Ketua Fraksi KM beralasan bahwa situasi dan kondisi
serta perkembangan politik yang ada tidak kondusif dan tidak lagi mencerminkan
rasa demokrasi.
Rapat Paripurna Khusus Tahap I DPRD
kembali riuh rendah oleh interupsi, sehingga sidang harus diskors selama 10
menit oleh Pimpinan Rapat untuk mengadakan rapat gabungan antara Panitia
Pemilihan dengan Pimpinan Fraksi. Skorsing berlangsung hingga 45 menit, namun
tetap tidak ada titik temu antara Pimpinan Rapat dengan para Pimpinan Fraksi.
Skorsing akhirnya dicabut dan Rapat
Paripurna Khusus Tahap I dibuka kembali, interupsi kembali gencar dilakukan.
Fraksi PDIP dan Fraksi KB getol meminta agar rapat kembali dilanjutkan ke tahap
II dengan agenda pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Sedang Fraksi APU dan Fraksi
KM mendesak agar rapat paripurna ditunda karena mereka beranggapan ada cacat
hukum, sehingga tidak layak diteruskan. Ditengah tumpang tindih interupsi dari
anggota DPRD itulah, Fraksi APU dan Fraksi KM memutuskan untuk walk out
(keluar ruang rapat paripurna dan tidak mengikuti proses pemilihan selanjutnya)
karena merasa kepentingannya tidak diakomodir.
Tanpa menunggu terlalu lama, Pimpinan
Rapat menawarkan pada forum apakah Rapat Paripurna Khusus Tahap I bisa
diteruskan atau tidak. Forum rapat paripurna menanggapi dengan meminta sistem
voting terbuka. Terutama untuk menjawab 2 (dua) persoalan krusial. Pertama,
apakah forum menyepakati agar sidang diteruskan dan kedua, apakah forum
menerima atau menolak pengunduran diri calon Wakil Bupati atas nama Wahyudin
Nooraly. Hasilnya sudah bisa ditebak, rapat paripurna jalan terus dan
pengunduran diri ditolak dengan komposisi; 28 suara meminta rapat paripurna
tetap dilanjutkan sekaligus menolak pengunduran diri Wahyudin Nooraly. Sebanyak
5 (lima) suara dari Fraksi TNI/Polri abstain, sedangkan 12 suara dari Fraksi
APU dan FKM memilih untuk walk out.
Selanjutnya Pimpinan Rapat Paripurna
Tahap I mempersilahkan Panitia Pemilihan untuk mempersiapkan pemungutan suara.
Semua prosedur pemungutan suara dilaksanakan dengan baik dan berjalan lancar
dengan tetap memasukkan 12 kartu suara yang kosong milik anggota DPRD yang walk
out dalam kotak suara.
Kemudian prosesi pemungutan suara
dilanjutkan dengan penghitungan suara. Panitia Pemilihan memohon saksi-saksi
agar segera menempatkan diri. Namun untuk menjadi catatan, sejak tahap
pemungutan suara sampai dengan penghitungan suara, saksi dari Fraksi APU dan
Fraksi KM tidak ikut terlibat sebab mereka sebagai anggota fraksi secara
kolektif kolegial ikut melakukan walk out sebagai sikap politik fraksi.
Setelah penghitungan suara selesai,
Pimpinan Rapat menandatangani berita acara penghitungan suara bersama-sama
dengan saksi-saksi dari masing-masing fraksi. Kemudian dilanjutkan dengan
penyerahan kotak berikut surat suara didalamnya kepada Kepala Pengadilan Negeri
Brebes berikut penandatanganan berita acara penyerahan kotak suara. Sebelum
rapat ditutup, Pimpinan Rapat mengucapkan selamat pada pasangan calon terpilih
dan memohon pada pasangan calon yang tidak terpilih untuk bisa berbesar hati
dan bersedia untuk turut membangun Brebes bersama-sama elemen masyarakat yang
lain.
Pimpinan Rapat tidak lupa mengumumkan
pada khalayak luas bahwa mulai tangal 30 Mei s/d 1 Juni 2002 merupakan masa uji
publik jika terdapat pengaduan dari masyarakat terutama berkaitan dengan dugaan
adanya politik uang dalam proses pemilihan, baik sebelum, saat maupun setelah
rapat paripuran pemilihan ini. Jika selama masa uji publik ini tidak terdapat
pengaduan maka pasangan calon terpilih akan ditetapkan untuk segera disahkan
dan diadakan pelantikan.
Hasil pemungutan suara menghasilkan
komposisi suara sebagai berikut; Indra Kusuma –HA. Faris Sulhaq SH mendapat 26
suara, 18 suara abstain dan 1 suara rusak dan dianggap tidak sah. Namun karena
proses politik dalam rapat paripurna dianggap belum selesai maka tahap
pengesahan belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat, mengingat masih terdapat
protes dari Fraksi APU dan Fraksi KM serta beberapa elemen masyarakat lain
seperti LSM yang masih menolak hasil Rapat Paripurna Khusus Tahap I.
Karena tidak terdapat pengaduan
masyarakat dalam masa uji publik selama 3 (tiga) hari, maka Panitia Pemilihan
tidak menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus Tahap II yang seharusnya
mengagendakan pembahasan pengaduan masyarakat terhadap hasil pemilihan.
Sehingga penetapan pasangan calon terpilih bisa dilaksanakan tanpa melalui
Rapat Paripurna Khusus Tahap II yang merupakan bagian dari tahapan pemilihan
namun ditiadakan karena tidak terdapat pengaduan dari masyarakat.
Sebelum memasuki tahap pengesahan terdapat
peristiwa menarik dan bersifat kontradiktif terutama jika merujuk pada
konstelasi politik pada saat itu. Peristiwa tersebut adalah dikeluarkannya
Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten Brebes Nomor 05 Tahun 2002 tentang
Penyelesaian Masalah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan
tahun 2002-2007[11]. Keputusan Pimpinan DPRD
Kabupaten Brebes tersebut ditetapkan pada tanggal 26 Juli 2002, sekitar 2 (dua)
bulan setelah kemelut pemilihan Bupati dan Wakil Bupati terjadi.
Penyelesaian yang dimaksud dalam
Keputusan Pimpinan DPRD tersebut diatas berupa keputusan untuk mengulang proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes dengan mempertimbangkan berbagai aspek
dan guna menyelesaikan permasalahan dalam seluruh rangkaian proses pemilihan.
Keputusan ini dikeluarkan setelah Pimpinan DPRD memperhatikan surat Gubernur
Jawa Tengah perihal perkembangan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes, dan
memperhatikan hasil pembicaraan dalam rapat Panitia Pemilihan serta rapat
Pimpinan DPRD.
H. Sunadi Ilham, Wakil Ketua DPRD
Kabupaten Brebes periode 1999-2004 menyatakan bahwa dalam proses pengambilan
Keputusan Pimpinan DPRD tersebut dilaksanakan dengan melibatkan semua elemen
yang berkepentingan, dalam hal ini Panitia Pemilihan dan unsur Pimpinan Fraksi,
dengan hasil berupa kesepakatan untuk mengulang proses pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati.
“Sebetulnya, keempat Pimpinan Dewan pada saat itu sudah kompak
menganggap proses pemilihan tidak sah, sehingga harus diulang. Dalam rapat
Pimpinan Dewan juga disepakati bahwa pemilihan tidak sah dan harus diulang.
Tidak tahu apa alasannya, tiba-tiba saja Sarei Abdul Rosyid dalam satu sesi
pertemuan (berikutnya) dengan Pimpinan Fraksi dan Panitia Pemilihan tiba-tiba
mengatakan, “Besok, saya akan mengadakan rapat paripurna penetapan,” Kita
sebagai Pimpinan Dewan jadi bingung, ada apa ini kok tiba-tiba, “ demikian H.
Sunadi Ilham[12].
Forum pertemuan antara Pimpinan Dewan,
Panitia Pemilihan dan para Ketua Fraksi itu akhirnya menjadi kacau, terlebih
begitu selesai menyatakan pengumuman perihal akan dilaksanakannya paripurna
penetapan, Sarei Abdul Rosyid langsung keluar dari ruang rapat. Sehingga
beberapa peserta forum rapat berusaha mengejar Sarei Abdul Rosyid untuk meminta
penjelasan. Sebab, dalam rapat sebelumnya Sarei Abdul Rosyid beserta seluruh
Ketua Fraksi, termasuk Ketua Fraksi PDIP dan Fraksi PKB, sudah menyatakan
sepakat untuk mengadakan proses pemilihan ulang. Setidaknya demikian menurut
Sunadi Ilham.
Pada saat itu situasi politik memang
sedang keruh. Banyak elemen-elemen masyarakat yang berusaha untuk mendesakkan
kepentingan masing-masing, baik yang berkeinginan agar pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati diulang maupun yang ingin segera dilaksanakan penetapan pasangan
calon terpilih. Sehingga langkah Pimpinan DPRD untuk mengambil keputusan berupa
pembatalan pemilihan dan pelaksanaan pemilihan ulang itu dapat dipahami sebagai
bagian dari tuntutan dari masukan masyarakat.
Keputusan Pimpinan DPRD ini sempat
menjadi kontroversi, setidaknya bagi pihak yang merasa proses pemilihan sudah
selesai dan sah, sehingga tidak perlu diperdebatkan apalagi diulang. Silang
pendapat sempat berlangsung saat Keputusan Pimpinan DPRD ini diparipurnakan,
khususnya penolakan dan protes keras dari anggota Fraksi PDIP dan Fraksi PKB
yang bersikukuh bahwa proses pemilihan tetap sah dan harus dilanjutkan ke
tahapan selanjutnya. Debat ramai yang dimeriahkan publik ini pada akhirnya
ditutup dengan penolakan sebagian besar anggota DPRD, terutama dari 2 (dua)
Fraksi yang sudah disebut diatas, terhadap Keputusan Pimpinan DPRD Nomor 05
Tahun 2002. Sehingga Keputusan Pimpinan DPRD 05 Tahun 2002 yang berisi
pembatalan pemilihan dan pengulangan proses pemilihan tidak sempat dijalankan
sama sekali oleh Panitia Pemilihan karena tidak mendapat dukungan politik yang
memadai dari seluruh anggota DPRD Kabupaten Brebes.
Namun kontroversi mengenai Keputusan
Pimpinan DPRD Nomor 05 Tahun 2002 tidak berlangsung lama, sebab Rapat Paripurna
Penetapan yang digelar DPRD Kabupaten Brebes pada tanggal 14 November 2002
secara yuridis telah menganulir Keputusan Pimpinan DPRD 05/2002. Hal ini
tertuang dalam Berita Acara Rapat Paripurna Khusus DPRD Kabupaten Brebes untuk
Penetapan Pasangan Calon Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan
tahun 2002-2007 Nomor 69 Tahun 2002[13]
poin 5, dimana disebutkan bahwa dengan ditetapkannya pasangan Bupati dan Wakil
Bupati terpilih maka Keputusan Pimpinan DPRD Nomor 05/2002 dinyatakan gugur /
batal dan tidak berlaku.
Tahap pengesahan ini memang memakan
waktu yang panjang, mengingat DPRD Kabupaten Brebes masih harus menunggu
keputusan dan rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Meskipun DPRD Brebes,
setelah melewati 3 (tiga) hari masa uji publik tanpa pengaduan, sudah
mengeluarkan Surat Keputusan DPRD Nomor 22 Tahun 2002 tentang Penetapan
Pasangan Calon Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007. Tahap penetapan pasangan calon terpilih ini bahkan baru dilaksanakan
pada hari Kamis tanggal 14 November 2002 dalam Rapat Paripurna Khusus Penetapan
Pasangan Calon Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007.
Namun Wahyudin Nooraly, calon Wakil
Bupati yang mengundurkan diri berupaya menempuh jalur hukum agar proses
penetapan ini dihentikan dengan mengajukan gugatan perdata terhadap DPRD
Kabupaten Brebes ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Semarang. Gugatan
tersebut berisi permohonan penundaan proses penetapan pasangan calon terpilih
dan pengulangan kembali proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes karena
tergugat merasa dirugikan. Selanjutnya dalam Putusan Sela yang dikeluarkan
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang bernomor : 78/G/TUN/2002/
PTUN.Smg tertanggal 26 November 2002,
berisi ketetapan untuk melakukan Penundaan Keputusan Pelaksanaan Penetapan pasangan
calon terpilih Bupati dan Wakil Bupati Brebes oleh DPRD Kabupaten Brebes.
Keputusan ini keluar dengan selisih 12 hari dengan saat Penetapan Pasangan
Calon Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Brebes 2002-2007 yang dilakukan oleh
DPRD Kabupaten Brebes.
Tahap pengesahannya sendiri baru bisa dilaksanakan
setelah Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
131.33 – 464 Tahun 2002 tentang Pengesahan Pengangkatan Bupati Brebes Provinsi
Jawa Tengah yang ditandatangani oleh Mendagri dan ditetapkan di Jakarta pada
tanggal 2 Desember 2002. Sedangkan pengesahan untuk Wakil Bupati Brebes
dilaksanakan setelah Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 132.33 – 465 tahun 2002 tentang Pengesahan Pengangkatan Wakil
Bupati Brebes Provinsi Jawa Tengah yang ditandatangani oleh Mendagri dan
ditetapkan di Jakarta pada tanggal yang sama, 2 Desember 2002.
Secara sederhana proses politik yang
demikian cepat dan terkesan kacau ini seolah-olah menandakan bahwa ada
mekanisme peraturan yang tidak berjalan dengan benar. Mekanisme dimaksud adalah
hal yang berhubungan dengan tidak tanggapnya unsur Panitia Pemilihan dan
Pimpinan Rapat Paripurna Khusus Tahap I terhadap kritik dan protes yang
diajukan oleh salah seorang calon Wakil Bupati.
Perihal hak bicara yang tertuang dalam
pasal 42 Tata Tertib Pemilihan yang hanya diberikan pada anggota DPRD oleh
Panitia Pemilihan tetap dilaksanakan sebagaimana adanya. Peraturan berdasarkan
pasal 42 ini diterapkan tanpa memandang perlu tidaknya fleksibilitas yang
memadai bagi elemen-elemen terkait yang ingin menyampaikan pendapat, terlebih
jika pendapat tersebut merupakan hal yang urgent dan sudah seharusnya mendapat
tanggapan dari Pimpinan Rapat dan Panitia Pemilihan.
Persoalan selanjutnya berkisar pada
penafsiran terhadap aturan main dengan latar belakang kondisi politik yang
sedemikian rupa berkembang sehingga aktor-aktor kebijakan merasa perlu
mengambil penafsiran yang berbeda satu sama lain dalam implementasi PP
151/2000. Artinya, karena berdasarkan pembacaan masing-masing fraksi atas
situasi politik terakhir serta landasan penafsiran yang berbeda terhadap Tata
Tertib Pemilihan, sehingga membuat tidak ada jalan tengah dalam silang pendapat
dalam rapat paripurna tersebut. Hal ini disebabkan karena masing-masing fraksi
merasa tafsirnya yang paling benar sehingga perdebatan memperebutkan kebenaran
ini tidak akan pernah selesai sebelum pengambilan keputusan dengan cara voting
dilaksanakan.
Secara umum terdapat 2 (dua) persoalan
mendasar yang menjadi pokok bahasan penelitian ini. Pertama, bagaimana proses
rangkap pencalonan Wakil Bupati atas nama Wahyudin Nooraly bisa terjadi. Kedua,
bagaimana proses pengunduran diri calon Wakil Bupati atas nama Wahyudin Nooraly
yang memicu terjadinya deadlock dalam Rapat Paripurna Khusus Tahap I
sehingga Fraksi APU dan Fraksi KM memutuskan untuk walk out setelah
menarik pencalonan mereka atas 2 (dua) pasangan calon Bupati yang lain atas
nama H. Djuhad Mahya SH dari Fraksi APU dan Suwarno Anggasuta SH dari Fraksi
KM. Implikasi dari penarikan kedua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati ini
oleh sebagian kalangan dianggap membawa konsekuensi berupa hanya ada satu calon
tunggal dalam pemilihan.
Konstelasi politik pra-pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Brebes pada saat itu terdapat fragmentasi yang memungkinkan terjadinya
perubahan situasi politik yang tiba-tiba. Koalisi antara PDIP dan PKB sudah
terbentuk, dengan mengusung pasangan calon yang sama, yakni pasangan Indra
Kusuma dan HA. Faris Sulhaq, SH sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati. Fraksi
APU mencalonkan H. Djuhad Mahya SH dan Wahyudin Nooraly, sedangkan Fraksi KM
mencalonkan Suwarno Anggasuta SH sebagai calon Bupati berpasangan dengan
Wahyudin Nooraly sebagai calon Wakil Bupati.
Secara faktual memang tidak terdapat
aturan main yang memadai, baik dalam PP 151/2000, maupun dalam SK DPRD 04/2002
tentang Tata Tertib Pemilihan, dimana kedua sumber hukum ini tidak mencantumkan
boleh tidaknya seseorang menjadi calon Wakil
Bupati untuk 2 (dua) fraksi sekaligus dan berpasangan
dengan calon Bupati yang berbeda.
Sehingga menanggapi rangkap pencalonan
ini, Drs. Ahmad Rofiqi, ketua Fraksi KB DPRD Kabupaten Brebes periode
2002-2007, menyatakan tidak masalah karena memang tidak ada aturan yang
melarang.
“Itu memang tidak ada dalam Tata
Tertib, jadi ada celah itu. Tidak ada aturan yang melarang, jadi tidak
bisa protes karena tidak ada alasan yuridisnya. Kalau alasan politik kan bisa
dicari. Waktu itu memang tidak kepikiran, padahal saya bagian dari panitia yang
merumuskan Tata Tertib,[14]”
demikian Drs. Ahmad Rofiqi.
Karena memang tak ada satupun pasal
maupun ayat dalam PP 151/2000 maupun dalam tata tertib pemilihan yang mengatur
hal tersebut. Akibatnya dualisme atau rangkap pencalonan ini ditanggapi sebagai
hal yang wajar, baik secara yuridis maupun politik. Termasuk oleh Wahyudin
Nooraly, calon Wakil Bupati yang saat itu dicalonkan secara bersamaan oleh 2
(dua) fraksi yang berbeda, dengan satu pasangan calon yang sama. Wahyudin
Nooraly merasa tidak punya hak untuk menolak keputusan kedua fraksi tersebut,
sehingga yang bersangkutan hanya bersikap datar dan menunggu.
“Karena itu urusan internal (partai) jadi saya tidak bisa mencampuri,
karena calon kan tidak bisa intervensi. Bagi calon seperti saya, hanya sekedar
hak-hak calon saja; seperti mendaftarkan diri, diuji, dan dicalonkan. Saya
tidak bisa mengundurkan diri dari salah satu pasangan. Karena kalau saya
mengundurkan diri dari salah satu berarti saya mendzalimi yang lain,” demikian
Wahyudin Nooraly[15].
Argumentasi Wahyudin Nooraly dapat
dibenarkan. Paling tidak, jika tidak ada aturan yang dilanggar dan selama tidak
merugikan fraksi lain, maka rangkap pencalonan Wakil Bupati akan dianggap bukan
masalah berarti. Dalam khasanah ilmu hukum, keadaan atau peristiwa diatas biasa
disebut “kekosongan hukum,” atau setidaknya peristiwa khusus ini muncul
karena ada “kekosongan hukum.” Suatu kondisi dimana tindakan atau
perilaku politik dilakukan tanpa berdasar pada aturan yang memang benar-benar
belum ada, sehingga apa yang dilakukan atau diputuskan tidak melanggar aturan.
H. Muhammadin, ketua Fraksi PDIP DPRD
Kabupaten Brebes periode 2002-2007 mengatakan hal yang tidak jauh berbeda
menanggapi kasus rangkap pencalonan Wakil Bupati diatas.
“Kami tidak berani menanggapi secara institusi, itu kan menyangkut
rumah tangga orang lain. Yang mestinya menanggapi kan orang luar atau publik.
Secara aturan memang tidak ada masalah, karena memang tidak diatur.[16]”
Muhammadin juga menganggap tidak ada
masalah dari aspek aturan, sehingga
fraksinya (PDIP), yang merupakan kepanjangan partai atau organisasi
politik, merasa tidak punya kewenangan untuk turut campur dalam kebijakan
partai politik lain. Muhammadin justru mengembalikan persoalan ini pada publik.
Artinya jika elemen-elemen publik masih ada yang protes maka boleh jadi rangkap
pencalonan Wakil Bupati itu bermasalah, setidaknya dari aspek kepatutan publik.
Sebaliknya, jika tidak terdapat protes, berarti perilaku politik tersebut dapat
dikategorikan wajar dan oleh karena itu dapat diterima publik.
Polemik ini memang hanya berhenti
sebatas polemik. Karena fraksi lain tidak dirugikan maka proses rangkap
pencalonan ini tidak menjadi masalah baik saat penetapan pasangan calon Bupati
dan Wakil Bupati maupun saat Rapat Paripurna Khusus Tahap I dengan agenda
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Menurut Ripley (1985), proses rangkap
pencalonan Wakil Bupati yang terjadi dalam proses pemilihan dimaksud merupakan
suatu implementasi kebijakan yang bersifat maldesign, artinya berasal
dari sesuatu yang salah dilihat dari aspek penyusunan kebijakan. Secara umum
masih terdapat faktor non-birokratis yang berpengaruh dan ada program-program
maupun klausul-klausul kebijakan yang tidak disusun dengan baik. Hal ini
menunjukkan bahwa PP 151/2000 dan Tata Tertib Pemilihan tidak disiapkan untuk
mengantisipasi hal-hal yang bersifat unik seperti rangkap pencalonan Wakil
Bupati seperti kasus diatas. Sehingga aktor kebijakan menemukan celah yang bisa
dimasuki untuk kepentingan politik mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang
digambarkan Grindle (dalam Wibawa dkk, 1994 : 22), dimana selain isi kebijakan,
para aktor kebijakan juga harus mencermati konteks kebijakan yang hendak
diterapkan. Maksud dari teori Grindle diatas menunjukkan bahwa sudah sepatutnya
aktor kebijakan seperti halnya anggota DPRD, dalam hal ini Panitia Khusus untuk
memeriksa lebih jauh seperti apa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika
kebijakan ini diterapkan. Sehingga Panitia Khusus bisa menciptakan langkah
antisipasi, atau setidaknya memberikan respon yang memadai jika terjadi
penyimpangan (deviasi) terhadap kebijakan yang sedang diterapkan. Jika
merujuk pada Grindle, Panitia Khusus dapat dianggap tidak mencermati poin
tentang rangkap pencalonan dalan Tata Tertib Pemilihan.
Hal ini bisa juga digunakan untuk
menjelaskan kenapa terjadi pengunduran diri sebagai calon Wakil Bupati atas
nama Wahyudin Nooraly. Dalam perspektif ini aktor kebijakan seperti tengah
mencari celah kemungkinan untuk mensiasati Tata Tertib Pemilihan dan PP
151/2000 yang memang tidak mengatur ihwal pengunduran diri tersebut.
Persoalan yang lebih penting dan punya
implikasi hukum dan bersifat politis ditunjukkan oleh segenap aktor-aktor
politik yang terlibat dalam proses Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) pada saat
Rapat Paripurna Khusus Tahap I.
Secara prosedural, sudah seharusnya
tahapan-tahapan proses ini diikuti oleh seluruh pasangan calon, termasuk
Wahyudin Nooraly. Namun karena merasa ada yang tidak beres dalam rangkaian
proses pemilihan, dari mulai tahap penyaringan, pemaparan visi, misi dan
rencana kebijakan hingga mendekati hari-H pemilihan, maka Wahyudin Nooraly
memutuskan untuk melakukan protes. Karena protes-protes yang dilayangkan tidak
kunjung disikapi oleh DPRD, dalam hal ini Panitia Pemilihan, maka Wahyudin
Nooraly memutuskan untuk mengundurkan diri. Setidaknya demikian menurut Wahyudin
Nooraly.
Secara umum, Wahyudin Nooraly dalam satu
sesi wawancara dengan peneliti menyatakan bahwa ada tiga titik ketidakberesan
mekanisme baik secara administratif maupun etika politik. Pertama, ada 2 (dua)
fraksi yang menurutnya tidak fair dalam menjaring bakal calon Bupati.
Argumentasi Wahyudin Nooraly sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya
diatas. Diantaranya berupa rendahnya apresiasi anggota Fraksi PDIP dan Fraksi
KB saat Wahyudin Nooraly melakukan pemaparan visi, misi dan rencana kebijakan.
Kedua, tidak adanya transparansi hasil penilaian, baik secara administratif
maupun kemampuan sesuai dengan materi yang diujikan. Hal ini mungkin saja hanya
ekor dari induk permasalahan sebelumnya, bahwa sebetulnya fraksi yang dimaksud
Wahyudin Nooraly memang tidak beritikad untuk repot-repot menjaring calon sebab
mereka sudah punya “calon” yang sudah disiapkan sejak lama. Ketiga, hal krusial
yang patut dicermati adalah ihwal adanya indikasi politik uang dalam proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes 2002-2007. Wahyudin Nooraly menengarai
hal ini terjadi sebelum proses pemilihan, mengingat ada bakal calon yang gagal
sebelum tahap penetapan calon, menagih uang yang pernah diberikan pada para
anggota DPRD.
Pengunduran diri Wahyudin Nooraly dalam
Rapat Paripurna Khusus Tahap I didasarkan atas dorongan moral dan etika politik
yang sedemikian kuat sehingga ia merasa perlu memperingatkan pada elemen-elemen
terkait, dalam hal ini Pimpinan dan anggota DPRD, agar menindaklanjuti apa yang
menjadi ganjalan yang mendasari kritik-kritik yang dilontarkan berkait dengan
seluruh tahapan yang sudah dilalui.
“Saya sudah memperingatkan, kira-kira seminggu sebelum hari-H.
Pada anggota dewan dan ketua, tolong
uang-uang yang mereka terima itu dikembalikan dulu sebelum pemilihan. Sebab
saya tidak ingin terlibat dalam perhelatan yang kemudian menimbulkan tuntutan
di belakang hari. Karena di banyak daerah yang menjalankan pilkada, ributnya
setelah terjadi pemilihan. Yang kalah menggugat, yang rugi rakyat karena kepala
daerah hanya memikirkan gugatan-gugatan ini,” demikian Wahyudin Nooraly[17].
Muara dari seluruh kritik yang
dilontarkan ini lagi-lagi mengarah pada dugaan money politics yang
menghantui proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Brebes. Hal
yang membuat Wahyudin Nooraly melakukan langkah politik dengan mengundurkan
diri sesaat sebelum pemilihan dimulai. Meskipun pada awalnya Wahyudin Nooraly
tidak meminta pengunduran diri, namun hanya meminta proses pemilihan ditunda,
setidaknya sampai ada tanggapan terhadap kritik-kritik yang diajukan.
“Kalau (masalah) ini tidak bisa dibereskan saya akan mundur. Ada yang
memberi saran, mundurnya jangan sekarang tapi besok saja saat pemilihan dengan
cara minta interupsi. Saya tidak jadi mundur, tapi saya ngomong, saya
minta interupsi sebentar agar sidang pemilihan ini ditunda untuk seminggu atau
setidaknya sebulan untuk membereskan masalah-masalah yang tadi,” demikian
Wahyudin Nooraly[18].
Pada akhirnya protes yang diajukan
Wahyudin Nooraly tidak ditanggapi oleh seluruh stake holder yang
terlibat dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, demikian juga
interupsi yang diminta ditolak oleh Pimpinan Rapat Paripurna Khusus Tahap I,
Sarei Abdul Rosyid S.IP, Ketua DPRD Kabupaten Brebes periode 1999-2004.
Wahyudin Nooraly menyatakan keheranan
pada sikap forum rapat paripurna diatas, dengan menganggap ada yang salah
dengan penolakan forum Rapat Paripurna Khusus Tahap I atas pengunduran dirinya.
“Interupsi tidak boleh, mundur katanya divoting. Ini kan aneh, divoting boleh tidaknya. Mereka
yang sudah menerima uang kan tidak ingin saya mundur, lagipula kalau divoting
sudah kelihatan hasilnya, 17 tambah 11 dari dua Fraksi itu. Saya hanya
mengingatkan, tolong pikirkan, saya mundur atau ditunda. Persoalannya, voting
untuk pengunduran diri calon tidak ada. Alasannya calon tidak boleh mundur. Ini
aneh saja. Tidak ada aturannya kok diadakan,” demikian Wahyudin Nooraly[19].
Akan tetapi hal ini dibantah Drs. Ahmad
Rofiqi, ketua Fraksi KB DPRD Brebes 2002-2007, dengan menyebut bahwa ini bukan
saatnya maju atau mundur dalam pemilihan. Karena tidak ada mekanisme yang mengatur calon boleh
mundur saat proses pemilihan sudah akan dilangsungkan.
“Tatibnya kan jelas, calon tidak bisa mengundurkan diri. Karena sudah
diparipurnakan, maka calon yang bersangkutan harus mengganti semua biaya yang
dikeluarkan oleh dewan. Karena dewan kan harus memulai lagi. Wahyudin
mengundurkan diri secara sepihak, kan sebenarnya bisa mengundurkan diri sebelum
paripurna. Padahal saat itu kan sidang paripurna pemilihan, jadi tidak ada
tawar menawar. Mengundurkan diri kan tawar-menawar. Kami menolak. Karena
tatibnya tidak membolehkan, karena saat itu bukan orang mau terus atau tidak,[20]”
demikian Ahmad Rofiqi.
Tata tertib yang menyebutkan boleh
tidaknya seorang calon mengundurkan diri memang tidak ada, tetapi bahwa jika sudah melalui paripurna seorang calon
yang mengundurkan diri harus membayar ganti rugi biaya perhelatan memang ada.
Klausul ini tercantum dalam pasal 39 Tata Tertib Pemilihan yang berbunyi :
”Dalam hal penetapan Keputusan
DPRD terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dan
salah satu calon atau pasangan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam
pasal 14 ayat (1) Keputusan ini sehingga mengakibatkan batalnya pemilihan maka
dikenakan sanksi untuk membayar segala biaya yang ditimbulkan atas kerugian tersebut kepada
Panitia Pemilihan dalam waktu 3 (tiga) hari sejak pengunduran dirinya dan tidak
boleh mengikuti proses penyaringan ulang.[21]”
Sedangkan pasal mengenai boleh tidaknya
seorang calon mengundurkan diri dan kapan saat seorang calon boleh mengundurkan
diri, sama sekali tidak dicantumkan dalam Tata Tertib Pemilihan. Sehingga
terdapat bias penafsiran antara fraksi yang menganggap bahwa pengunduran diri
melanggar tata tertib pemilihan dan fraksi yang menganggap pengunduran diri
tidak melanggar tata tertib. Namun karena kondisi politik saat pemilihan saat
itu memenangkan fraksi yang menganggap pengunduran diri tidak sah dan tidak ada
calon tunggal, maka adagium bahwa
kekuatan politik bisa mengalahkan penafsiran atas hukum seolah menemukan
titik kebenarannya.
Apapun konteks dan muatan perdebatannya, pengunduran diri Wahyudin
Nooraly membawa implikasi politik dan yuridis yang sangat serius. Bagaimana
tidak? Secara faktual berarti pasangan Indra Kusuma dan HA. Faris Sulhaq, SH
tidak mempunyai lawan dalam pemilihan alias calon tunggal. Suatu kondisi yang
secara yuridis tidak diperbolehkan dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1999
maupun dalam PP Nomor 151 Tahun 2000.
Muhadjir M. Ardian sebagai ketua Fraksi
APU menyebutkan, kalau dulu ketika pemilihan Bupati masih mengacu pada UU Nomor
5 Tahun 1974, jika hanya terdapat satu calon maka fraksi yang belum mengajukan
calon diloby untuk dapat mengirimkan nama calon sebagai pendamping dalam
pemilihan, sehingga pemilihan dapat dilakukan dengan calon lebih dari satu.
Sekarang prinsip pemilihan yang melarang dilakukan hanya dengan 1 (satu) calon
diadopsi dan ditegaskan kembali dengan ketentuan seperti diatur dalam pasal 18
ayat (8) PP 151/2000 yang menyatakan, “Dalam hal pasangan calon hanya terdapat
2 (dua) pasangan dan salah satu pasangan mengundurkan diri, proses penetapan
pasangan calon diulang.”
Namun
secara yuridis, pengunduran diri tidak terjadi pada saat penetapan, melainkan
pada saat proses pemilihan akan dimulai. Lagipula, tahap penetapan pasangan
calon sudah dilewati dan terdapat 3 (tiga) pasangan calon, bukan hanya 2 (dua)
seperti dipersyaratkan dalam PP 151/2000, sehingga fraksi PDIP dan Fraksi PKB
menganggap argumentasi mereka tersebut sudah final dan benar. Namun fakta lapangan
juga tidak bisa dipungkiri bahwa pasangan calon yang diajukan Fraksi APU dan
Fraksi KM ditarik pencalonanannya alias mengundurkan diri. Sehingga secara
faktual, pasangan calon Indra Kusuma dan HA. Faris Sulhaq SH tidak melawan
siapa-siapa, hanya pasangan calon yang sudah dianggap gugur bahkan oleh
fraksinya sendiri yang mengajukan kedua pasangan calon tersebut.
Secara yuridis normatif memang pemilihan
hanya dengan satu pasangan calon tidak dimungkinkan, namun konstelasi politik
saat pemilihan berlangsung memungkinkan hal tersebut terjadi. Perdebatan
mengenai konsepsi calon tunggal ini dilakukan oleh fraksi-fraksi yang saling
berseberangan. Pijakan argumentasi masing-masing elemen fraksi didasarkan pada
dua hal yang berbeda. Pertama, Fraksi PDIP dan Fraksi KB menganggap pengunduran
diri calon Wakil Bupati tidak sah, sehinggga tidak ada konsepsi calon tunggal.
Sedangkan Fraksi APU dan Fraksi KM menganggap bahwa calon Wakil Bupati atas
nama Wahyudin Nooraly telah sah mengundurkan diri dan bahkan kedua fraksi tersebut
telah menarik pencalonan 2 (dua) orang
pasangan Bupati yang mereka ajukan sebelumnya, sehingga 2 (dua) pasangan calon
tersebut dianggap gugur.
H.
Muhammadin, mantan ketua Fraksi PDIP menganggap pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Kabupaten Brebes masa jabatan tahun 2002-2007 bukan calon tunggal, sebab
ada pasangan lain yang dicalonkan oleh Fraksi lain. Oleh karena pengunduran
diri Wahyudin Nooraly ditolak maka dianggap tidak sah, demikian juga dengan
pencabutan pencalonan yang dilakukan oleh masing-masing ketua Fraksi APU dan
FKM juga dianggap tidak sah.
“Kalau saya tetap tidak mengakui bahwa (pemilihan itu) calon tunggal.
Karena memang ada calon, yang artinya dia datang. Mereka datang, cuma antara
siap dan tidak siap. Menurut pandangan saya, yang namanya peserta baik calon
Bupati atau Wakil Bupati maupun anggota DPRD sebagai pemilik hak pilih, jika
sudah hadir dan menandatangani daftar hadir itu sudah merupakan partisipasi.
Dalam perjalanannya kemudian mereka walk out, itu kan sudah hak mereka,”
demikian H. Muhammadin[22].
Jika
mengingat komposisi terakhir penghitungan suara yang memenangkan Indra Kusuma
dan HA. Faris Sulhaq, SH dengan angka 26 suara, abstain 18 suara dan rusak 1
suara maka boleh jadi logika yang jadi basis argumentasi H. Muhammadin bermasalah. Sebab, secara
teknis jumlah keseluruhan suara anggota DPRD Brebes adalah 45 suara. Jika total
perhitungan dalam pemilihan sebanyak 45 suara, maka ke-12 kartu suara anggota
DPRD yang walk out tetap dihitung. Itu artinya walk out tidak
dianggap sebagai sikap politik, sehingga kartu suara, yang notabene adalah hak
politik mereka yang walk out, tetap dipakai dan dihitung meskipun masih
dalam kategori abstain atau tidak memberikan suara.
Jika 12
kartu suara milik anggota DPRD yang walk out tetap dihitung, maka hal
itu dapat dikategorikan sebagai tindakan manipulasi terhadap kartu suara.
Karena seharusnya walk out adalah bagian dari sikap politik yang diambil
oleh anggota Fraksi APU dan Fraksi KM yang merasa diperlakukan tidak adil,
sehingga mengambil langkah keluar dari ruang paripurna serta tidak
bertanggungjawab terhadap hasil-hasil pemungutan suara tersebut.
Sikap walk
out tersebut tidak bisa ditanggapi sebagai bentuk tetap hadir, apabila 12 kartu suara milik anggota Fraksi APU dan
Fraksi KM tetap dimasukkan kotak suara, maka resikonya dapat diancam pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 150 dan 152
KUHP yaitu tindak pidana
manipulasi surat suara dalam pemilihan tersebut.
Perdebatan ihwal abstain tidaknya 12
anggota DPRD dari Fraksi APU dan Fraksi KM, berujung pada diajukannya Laporan
dan Pengaduan kepada pihak Kepolisian Resort Brebes tentang adanya dugaan
tindak pidana manipulasi surat suara sebagaimana diatur dalam pasal 150 dan 152
KUHP. Dalam perkara tersebut Sarei Abdul Rosyid SIP, sebagai ketua DPRD
Kabupaten Brebes merangkap Ketua Panitia Pemilihan dan Nurul Huda SAg, selaku
pembaca kartu suara yang menentukan sah tidaknya kartu suara pemilihan,
diadukan oleh seluruh anggota Fraksi
Karya Massa (KM) dan Fraksi Amanat Persatuan Umat (APU) karena dianggap telah
melakukan tindakan manipulasi terhadap 12 surat suara anggota Fraksi APU dan
Fraksi KM yang walk out karena tetap dihitung hadir dalam pemilihan dan
membiarkan suara-suara pelapor dimasukan secara tidak sah dengan cara
diwakilkan.
Tindakan terlapor dengan memasukan atau
setidak-tidaknya membiarkan suara-suara pelapor dimasukan secara tidak sah
dengan cara diwakilkan adalah melanggar pasal 21 ayat (2) Keputusan DPRD
Kabupaten Brebes Nomor 04 Tahun 2002 tentang Tata Tertib Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes yang menyatakan, “Penggunaan hak anggota DPRD untuk memilih
calon Bupati dan Wakil Bupati tidak dapat dikuasakan / diwakilkan kepada orang
lain.”
Selain itu pelapor juga menganggap
terlapor telah melakukan tipu muslihat dengan tetap menganggap sah kartu suara
pemilih yang di kertas suaranya terdapat tulisan atau coretan selain tanda
silang (X), karena menurut Keputusan DPRD Kabupaten Brebes Nomor 04 Tahun 2002
Pasal 26 juncto Pasal 25, jika ada tulisan atau coretan selain tanda silang
(X), maka suara menjadi tidak sah.
Terlapor juga dianggap telah melakukan
tipu muslihat dengan mencantumkan dalam berita acara Rapat Paripurna Khusus
Tahap I pada tanggal 29 Mei 2002, bahwa anggota DPRD Kabupaten Brebes yang
menggunakan hak suaranya adalah 45 orang, padahal yang menggunakan hak suaranya
secara sah hanya 33 orang karena 12 orang anggota DPRD Kabupaten Brebes dari
Fraksi Karya Massa (KM) dan Fraksi Amanat Persatuan Ummat (APU) melakukan walk
out dan tidak menggunakan hak suaranya.
Drs. Ahmad Rofiqi, ketua Fraksi KB DPRD
Kabupaten Brebes periode 1999-2004 menegaskan bahwa saat itu adalah paripurna
pemilihan, dimana pasangan calon dan fraksi-fraksi sudah hadir dan menyepakati
agenda. Sehingga apapun alasan yuridisnya, keputusan rapat paripurna tetap sah.
“Kami berpendapat calon tetap tiga pasang, karena pengunduran diri dan
penarikan calon itu dianggap tidak sah. PDIP dan PKB menganggap masih ada 2
(dua) pasangan calon lain sebagai lawan politik. Kecuali pada saat itu pimpinan
rapat langsung membatalkan. Kita bisa mulai dari awal kalau sidang paripurna
pemilihan membatalkan, tapi pemimpin sidang tidak membatalkan. Kami masih punya
alasan, berarti pengunduran diri tidak sah,” demikian Ahmad Rofiqi[23].
Tahap
pelaksanaan pemilihan ini pada dasarnya masih menyimpan 2 (dua) pertanyaan besar. Pertama, soal sah tidaknya
proses pemilihan yang hanya melibatkan calon tunggal, dimana pada saat
pemilihan masih terjadi perdebatan yang mengakibatkan munculnya voting terbuka
untuk menolak pengunduran diri calon Wakil Bupati. Kedua, adanya dugaan
manipulasi terhadap Panitia Pemilihan karena tetap memasukkan kartu suara
anggota DPRD yang walk out dalam proses penghitungan suara dan dihitung
sebagai suara abstain.
Dalam
bahasan ini dapat dijelaskan bahwa apa yang dijabarkan Grindle dalam konteks
kebijakan, dimana implementasi PP 151/2000 mendapat pengaruh dari kekuasaan,
kepentingan dan strategi aktor yang terlibat. Pengaruh disini diwujudkan dalam
bentuk bagaimana sebuah Tata Tertib Pemilihan dibuat dan ditafsirkan sedemikian
rupa sesuai dengan kondisi politik yang dikehendaki. Hal ini terlihat melalui
berbagai perdebatan dengan landasan argumentasi dan konteks yang diajukan
masing-masing anggota DPRD untuk memperjuangkan kepentingan fraksi yang
mengakibatkan deadlock dalam rapat paripurna. Faktor pengaturan strategi
sangat kental mewarnai perdebatan antara aktor-aktor kebijakan yang tergabung
dalam fraksi-fraksi, terutama yang berkaitan dengan pengunduran diri calon
Wakil Bupati dan konsepsi calon tunggal yang dipertentangkan. Masing-masing
fraksi mendasarkan argumentasinya pada aturan main yang ada, yakni PP 151/2000
dan SK DPRD 04/2002 tentang Tata Tertib Pemilihan. Pergulatan strategi inilah
yang akhirnya menghasilkan keputusan berupa dilanjutkannya Rapat Paripurna
Khusus Tahap I dan aksi walk out bagi yang tidak menyepakati keputusan
tersebut diatas. Namun penilaian atas efektif tidaknya implementasi kebijakan
akan menjadi tidak relevan sebab dalam prakteknya, PP 151/2000 dan Tata Tertib
Pemilihan memang tidak dapat diterapkan sebagaimana mestinya karena kondisi dan
situasi politik yang selalu berubah akibat interaksi politik antar aktor
kebijakan, baik antara anggota DPRD, fraksi-fraksi maupun Panitia Pemilihan.
Merujuk
pada Ripley (1985), penerapan kebijakan sepeti kasus impelementasi PP 151/2000
dan SK DPRD 04/2002 merupakan gambaran kondisi compliance (kepatuhan)
aktor kebijakan terhadap kebijakan yang tengah diterapkan. Pada titik ini
kebijakan dapat dikatakan berhasil diimplementasikan jika aktor kebijakan
mematuhi seluruh petunjuk teknis dan non-teknis dari kebijakan tersebut.
Setidaknya, pekerjaan pada tahap-tahap awal berupa; perumusan tata tertib,
pendaftaran, penyaringan, penetapan bakal calon dan penetapan pasangan calon
yang dilaksanakan Panitia Khusus dan Panitia Pemilihan dapat dikategorikan
memenuhi aspek compliance.
Gambaran kedua berupa faktor what’s
happening (apa yang terjadi) saat kebijakan PP 151/2000 diimplementasikan.
Sehingga apa yang dilakukan fraksi-fraksi, anggota DPRD dan Panitia Pemilihan
merupakan cerminan situasi politik riil yang terjadi dalam proses pemilihan dan
sebagai fakta penerapan kebijakan maka segala peristiwa yang terjadi dalam
proses pemilihan merupakan obyek penelitian yang harus dicermati. Dalam konteks
ini perspektif what’s happening lebih menekankan pada analisis karakter
dan kualitas perilaku organisasional dalam mengimplementasikan kebijakan.
Sehingga seluruh peristiwa yang terjadi dalam rapat Paripurna Khusus Tahap I
merupakan perpaduan antara karakter masing-masing fraksi dengan segenap
kepentingan, orientasi dan strategi politik serta perilaku organisasional
partai politik yang direpresentasikan oleh anggota DPRD. Untuk mengambil
contoh, misalnya apa yang dilakukan oleh Fraksi PDIP dan Fraksi KB saat
menetapkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yang memang sudah disiapkan
jauh-jauh hari sebelum tahap penyaringan dilaksanakan. Meskipun perspektif what’s
happening ini mengandung 2 (dua) kekurangan, yakni banyaknya faktor
non-birokrasi yang berpengaruh dan kemungkinan adanya maldesign policy.
Faktor non-biokrasi dapat diartikan keengganan para aktor kebijakan untuk
mematuhi struktur birokrasi diatasnya dan memakai metode, pola dan strategi
yang diyakini oleh para aktor kebijakan tanpa memandang perlunya pertunjuk dan
instruksi dari struktur birokrasi diatasnya, dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah
atau Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan maldesign merujuk pada tidak
adanya peraturan atau pasal, baik dalam PP 151/2000 maupun dalam SK DPRD
04/2002 yang mencantumkan ihwal boleh tidaknya rangkap pencalonan dan deskripsi
detail tentang pengunduran diri calon.
c.
Tahap Monitoring dan
Evaluasi
1). Kegiatan
dalam tahap monitoring dan evaluasi
Tahap ini berupa proses monitoring atau
pengawasan yang terjadi sebelum maupun pada saat pemilihan berlangsung.
Sedangkan tahap evaluasi berupa penilaian baik dari elemen masyarakat maupun
instansi yang lebih tinggi atas apa yang terjadi dalam proses pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati maupun setelah proses pemilihan terjadi. Dalam arti bagaimana
mencermati evaluasi terhadap hasil-hasil pemilihan yang dilakukan baik oleh
masyarakat maupun oleh instansi yang lebih tinggi, dalam hal ini Menteri Dalam
Negeri dan Gubernur Jawa Tengah.
2). Tempat tahap monitoring dan evaluasi dilakukan
Semua tahapan monitoring dan evaluasi
dikerjakan di lingkup Kabupaten Brebes, termasuk diantaranya proses pengawasan
saat tahap pemilihan sedang berlangsung maupun saat proses penilaian dan
pengiriman surat protes pada Gubernunr Jawa Tengah dan Menteri Dalam Negeri.
3). Pihak yang terlibat dalam tahap monitoring dan
evaluasi
Tahap monitoring dan evaluasi ini
melibatkan semua unsur stake holder yang terlibat, mulai dari anggota
DPRD, kelompok kepentingan, ulama dan tokoh masyarakat, LSM, insan pers dan
organisasi kemasyarakatan lainnya. Dengan menimbang bahwa tahapan ini merupakan
suatu mekanisme untuk mengawasi dan menilai sejauh mana mekanisme pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati dijalankan dengan baik, benar, taat azaz dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
4). Alasan kenapa tahap monitoring dan evaluasi
dilakukan
Tahap monitoring dan evaluasi
mendapatkan landasan yang kuat dari pasal 25 PP 151/2000 yang membuka ruang
seluas-luasnya bagi pengujian publik yang dilakukan selama 3 (tiga) hari
setelah pemilihan dengan pembatasan pada dugaan adanya politik uang dalam tahap
pelaksanaan pemilihan.
5). Bagaimana tahap monitoring dan evaluasi dilakukan
Pada tahap pelaksanaan pemilihan
sebenarnya telah ada monitoring dari elemen masyarakat yang kebetulan diundang
dalam proses pemilihan. Diantaranya; kalangan LSM, ulama dan tokoh masyarakat,
dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Meskipun tidak maksimal, namun apa yang
dilakukan Gerakan Aliansi Wakil Masyarakat (Gawat) dan Bupati
Election Wacht Forum (Bilwaf), himpunan LSM di Brebes yang concern pada
proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati sudah cukup mewakili partisipasi
masyarakat dalam melakukan monitoring. Fokus masalah yang menjadi bahan kajian
kedua LSM tersebut didasarkan pada upaya untuk mencegah maraknya politik uang yang
terjadi dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Gerakan monitoring dilakukan Gawat
dan Bilwaf melalui seminar dan sarasehan yang mengupas ihwal pelaksanaan
Pilkada Brebes. Gawat bahkan mengadakan sarasehan dengan tema persiapan
Pilkada dan kewaspadaan terhadap money politics dalam pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati jauh sebelum Pilkada dimulai dengan menggelar talk show dan
diskusi interaktir dengan beragam tema yang berhubungan dengan proses Pilkada
di radio Pop FM Brebes.
Mahfudin SS, koordinator Gawat menyatakan
bahwa pendirian Gawat merupakan upaya untuk melakukan proses sosialisasi
dan pemantauan sehingga Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) bisa menjadi milik
seluruh warga masyarakat Brebes.
“Kita dari awal beritikad agar masyarakat bisa mengikuti proses
Pilkada, sebab menurut PP 151/2000 disebutkan bahwa penyelenggara Pilkada
adalah DPRD, sedangkan yang memilih juga DPRD. Lalu kapan masyarakat bisa
terlibat? Akhirnya saya membuat Gawat yang merupakan aliansi dari
elemen-elemen masyarakat, termasuk diantaranya wartawan, ormas dan
pribadi-pribadi yang peduli pada Pilkada,” demikian Mahfudin[24].
Secara garis besar program sosialisasi
dan pemantauan Gawat dilakukan dengan 2 (dua) medium. Pertama, diskusi
interaktif atau talk show bertajuk Obras (Obrolan Rakyat Serius tapi Santai)
di radio Pop FM Brebes seminggu 2 (dua) kali dengan durasi 1 (satu) jam
siaran. Kedua, dengan mengadakan seminar dan fokus group diskusi yang membahas
ihwal segala aspek dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes.
Masyarakat yang semula hanya terlibat
sebagai penonton, dengan adanya diskusi interaktif radio diharapkan bisa ikut
memantau jalannya pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Bahkan masyarakat bisa
menilai dan melontarkan kritik atas visi-misi dan rencana kebijakan yang jadi
bagian program kerja calon Bupati dan Wakil Bupati yang kebetulan menjadi
narasumber dalam diskusi interaktif radio tersebut.
Acara Obras yang diselenggarakan Gawat di Pop FM
ini tetap dilangsungkan hingga tahap pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
selesai dilaksanakan. Jadi masyarakat bisa ikut memantau dan menilai sah
tidaknya proses pemilihan dan menentukan sikap terhadap proses dan hasil
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Sebagian besar responden yang menelepon
dalam acara Obras tersebut menyatakan bahwa Pilkada (Pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati) tidah sah oleh karena itu harus diulang sedangkan sebagian
kecil lagi menganggap Pilkada tetap sah dan pasangan Bupati dan Wakil Bupati
terpilih harus segera dilantik. Pro-kontra pendapat yang terjadi antar elemen-elemen
masyarakat ini tidak sampai menyebabkan perpecahan, karena justru masyarakat
lebih bisa memahami substansi demokrasi ketimbang para elit politik yang saat
itu tengah bertikai.
Pokok-pokok pikiran Gawat salah
satunya menyatakan bahwa hendaknya dalam seleksi pasangan calon, Dewan (DPRD)
harus mengedepankan figur terbaik sebagaimana diisyaratkan dalam UU N0 22 Tahun
1999. Kalangan anggota Dewan (DPRD) jangan berpaling pada hal yang bersifat
material, dengan kata lain menggadaikan lembaganya dengan melakukan money
politics[25].
Sedangkan Bilwaf mengusulkan agar
dilakukan sumpah atau janji tidak melakukan politik uang sebelum para wakil
rakyat melaksanakan pemilihan. Sumpah berlaku juga untuk calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah yang ikut dalam pemilihan.
''Sebaiknya ada tata tertib sumpah dalam pilkada nanti. Sumpah
diucapkan sebelum pemilihan,'' kata Syamsul Ma'arif[26],
seorang pengurus Bilwaf, dalam audensi dengan unsur Pimpinan DPRD.
Sebelumnya FORPAK (Forum Penegak
Konstitusi dan Keadilan) Kabupaten Brebes juga melakukan proses monitoring
terhadap proses penyaringan dan penetapan pasangan bakal calon dan penetapan
pasangan calon. FORPAK sedari awal mengkhawatirtkan terjadinya
manipulasi dan kecenderungan politik uang, sehingga mereka mengajukan salah
satu klausul tuntutan pada poin 5 yang berbunyi tindak tegas anggota Dewan
(DPRD) yang terlibat politik uang. Mereka juga mengemukakan klausul tuntutan,
khususnya pada poin 8, yakni “Bila terbukti cacat hukum, maka proses Pilkada
harus diulang secara menyeluruh dengan ukuran kriteria penilaian yang jelas dan
terukur.[27]”
Proses monitoring ini dilanjutkan hingga
proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada tanggal 29 Mei 2002. Kehadiran Gawat,
Bilwaf dan FORPAK serta elemen lain dalam proses pemilihan ini
membuat kegiatan monitoring secara prosedural sudah terpenuhi. Meskipun secara
substansial belum dapat dikatakan bahwa proses monitoring ini sudah maksimal.
Sebab hasil pemilihan yang kemudian ditetapkan DPRD tidak mendapat tanggapan
yang berarti, terutama berkaitan dengan tidak dimanfaatkannya masa uji publik
dengan optimal.
Kegiatan monitoring ini juga mengkaji
tentang sah tidaknya proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang menurut
mereka tidak menerapkan peraturan sebagaimana mestinya dan ternodai oleh
indikasi adanya politik uang dalam proses pemilihan. Perdebatan ihwal sah
tidaknya proses dan hasil pemilihan ini juga menjadi perhatian publik luas,
terutama elemen-elemen kepentingan yang merasa bahwa proses pemilihan tersebut
bermasalah karena melanggar tata tertib. Salah satunya adalah aksi yang digelar
Solidaritas Rakyat Anti Kekerasan dan Intimidasi (Soraki), dengan
mendatangi gedung DPRD dan meminta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati diulang
karena melanggar pasal 14 tata tertib pemilihan[28].
Dalam pasal 14, ayat 1 disebutkan bahwa “Dalam hal Pasangan Calon hanya
terdapat 2 (dua) pasangan dan salah satu pasangan mengundurkan diri, proses
pemilihan Pasangan Calon diulang.[29]”
Soraki merupakan
kepanjangan tangan dari Gawat, sebab Soraki dibentuk oleh Gawat
dengan menambah jumlah aliansi dengan elemen masyarakat dengan jumlah yang
jauh lebih banyak. Aliansi baru ini dibentuk dengan tujuan untuk sosialisasi
pada masyarakat bahwa Pilkada yang baru saja dilakukan tidak sah oleh karena
itu harus diulang prosesnya. Untuk memperjuangkan tuntutannya Soraki bahkan
pernah mengirim surat kepada Pimpinan DPRD, Panitia Pemilihan, Pimpinan Fraksi,
Presiden RI dan Mendagri serta Gubernur Jawa Tengah perihal Pelanggaran
Keputusan DPRD Brebes Nomor 04 Tahun 2002 dalam Rapat Paripurna Penetapan
Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih masa jabatan tahun 2002-2007.
Hal yang sama juga dilakukan Masigab
(Majelis Silaturahmi Masyarakat Brebes) yang berkedudukan di Jakarta. Masigab
mengirim surat pernyataan sikap yang ditujukan pada Mendagri, dengan inti surat
berupa pernyataan bahwa Pilkada Brebes tidak sah karena hanya terdapat satu
calon tunggal dan proses pemungutan suara yang tidak sah karena penghitungan
yang mengikutsertakan 12 surat suara sebagai abstain. Masigab juga
menganggap telah terjadi politik uang sehingga mereka berkesimpulan bahwa
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes tidak sah dan harus diulang[30].
Fenomena yang menarik terjadi ketika
bukan hanya kelompok masyarakat, seperti Soraki dan Masigab saja
yang menganggap proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes tidak sah,
namun ada elemen masyarakat yang bersikap sebaliknya. Kelompok masyarakat
tersebut menamakan diri SANTRI (Solidaritas Masyarakat Anti Anarkhis)
Kabupaten Brebes yang mendukung langkah DPRD Brebes untuk segera menetapkan
pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih.
Dasar argumentasi utama SANTRI
dalam menerima hasil pemilihan adalah karena SANTRI menganggap
pengunduran diri calon Wakil Bupati dan penarikan pasangan calon sebelum
pemilihan dimulai merupakan pelanggaran terhadap Tata Tertib Pemilihan dan
merupakan skenario yang dirancang secara sistematis oleh sebagian anggota DPRD
untuk menggagalkan proses Pilkada (pemilihan kepala daerah) Brebes[31].
Penerapan pasal 14 ayat (1) Tata Tertib
Pemilihan inilah yang jadi pemicu pro dan kontra pasca pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes. Pada satu sisi, kelompok yang pro menganggap apa yang
mereka lakukan tidak melanggar tata tertib. Sedangkan di sisi lain, kelompok
yang kontra menganggap bahwa tata tertib sudah dilanggar sehingga hasil
pemilihan menjadi tidak sah. Selain kritik dari pelbagai kelompok kepentingan
di masyarakat, proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes ini juga
melibatkan instansi diatasnya, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Sehingga
Menteri Dalam Negeri merasa perlu melakukan evaluasi, terlebih karena unsur
Pimpinan DPRD Kabupaten Brebes 2002-2007, yang terdiri dari; Sarei Abdul Rosyid
S.IP sebagai ketua, dan tiga wakil ketua yakni masing-masing; H Slamet Abdullah
Nury BA, HM. Nasrudin, dan HM. Sunadi Ilham meminta pentunjuk ihwal stagnasi
dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes.
Setelah diterima Drs. Darjo, Direktur
Pejabat Negara Depdagri dan Otonomi Daerah, terdapat penilaian dimana ada
beberapa kekurangan dan kekeliruan penerapan tata tertib pemilihan atau terjadi
pelanggaran, khususnya pada penerapan pasal 36, 14 dan 21 tata tertib[32].
''Hasil pengamatan Depdagri sesuai dengan berita acara yang dikirimkan
DPRD Brebes tentang pelaksanaan pemilihan 29 Mei, masih ada mekanisme yang
belum dilaksanakan,'' kata Sarei Abdul Rosyid SIP, Ketua DPRD Brebes 1999-2004[33].
Artinya proses pemilihan dapat dipahami
ini tidak menggunakan tata tertib sebagaimana mestinya terutama berkait dengan
pasal 21 ayat (3), dimana ketidakhadiran anggota DPRD menimbulkan hangusnya hak
politik atau hak suara.
“Anggota DPRD yang tidak hadir dalam penggunaan hak pilihnya maka yang
bersangkutan kehilangan hak suaranya.[34]”
Secara teoritis, ke-12 orang anggota
Fraksi APU dan Fraksi KM harusnya kehilangan hak suara dan tidak terhitung
abstain. Sebab kehilangan hak suara berbeda dengan abstain yang dianggap masih
punya hak suara tapi tidak memanfaatkannya. Terlebih karena fakta menunjukkan
bahwa ke-12 anggota DPRD yang berasal dari Fraksi APU dan Fraksi KM pada saat
itu berada di luar ruangan rapat paripurna. Sehingga tidak bisa dikatakan
abstain karena posisi geografis mereka berada diluar ruangan, bukan di dalam
ruang rapat paripurna dan mengikuti seluruh rangkaian proses pemilihan
(termasuk didalamnya pemungutan dan penghitungan suara) namun tidak memberikan
suara alias abstain. Seyogyanya terdapat perbedaan mendasar antara “hadir di
ruang rapat paripurna” dan “lembar daftar hadir” yang jadi acuan abstain
tidaknya seorang pemilih.
Namun evaluasi dari Departemen Dalam
Negeri, dalam hal ini yang direpresentasikan oleh Drs. Darjo, Direktur Pejabat
Negara Depdagri dan Otonomi Daerah, ternyata tidak dibarengi dengan suatu
kebijakan yang memadai. Dalam arti tidak ada kebijakan atau ketetapan yang harus
dirubah setelah hasil evaluasi itu diketahui publik. Sebaliknya, Depdagri
justru mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 131.33-464 tahun 2002 tentang
Pemberhentian Penjabat Bupati dan Pengesahan Pengangkatan Bupati Brebes
Propinsi Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan Nomor 132.33 – 465 tahun 2002 tentang Pengesahan Pengangkatan Wakil
Bupati Brebes Propinsi Jawa Tengah.
Surat Keputusan Mendagri ini menurut
Wahyudin Nooraly terasa cukup membingungkan. Sebab, menurut keterangan dari
beberapa orang yang memberi informasi pada Wahyudin Nooraly,[35]
terdapat 2 (dua) jenis Surat Keputusan Mendagri yang turun pada saat yang
hampir bersamaan. Surat keputusan pertama berisi tentang pembatalan proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes dan perintah agar proses pemilihan
tersebut diulang. Sedangkan surat keputusan kedua berisi perihal sebaliknya,
yakni perintah untuk kembali melanjutkan proses yang sudah dilakukan dengan
melaksanakan penetapan, pengesahan dan pelantikan. Selisih datangnya surat
pertama dan surat kedua, tidak sampai seminggu. Setidaknya demikian menurut
Wahyudin Nooraly[36].
Wahyudin Nooraly menengarai terdapat
upaya lobi yang kuat yang ditujukan pada policy maker di Departemen
Dalam Negeri. H. Muhammadin, ketua Fraksi PDIP Kabupaten Brebes periode
1999-2004, tidak menampik asumsi bahwa memang terdapat lobi-lobi politik untuk
memuluskan proses penetapan pasangan calon terpilih.
“Kalau saya melihat, katakanlah dari yang pro juga mengajukan (lobi),
yang kontra juga mengajukan. Sehingga kalau kesana kadang suka bareng-bareng.
Jadi (Depdagri) tidak campur tangan, karena memang harus campur tangan.
Kebetulan kami disana juga aktif, jadi istilahnya kami mendekati tahu. Karena
yang kontra juga menyampaikan, yang pro apalagi, kan begitu?[37]”
Hasil lobi sudah bisa dilihat, kelompok
yang pro yang direpresentasikan oleh Fraksi PDIP dan Fraksi KB berhasil membuat
Departemen Dalam Negeri mengambil keputusan yang memenangkan kepentingan
mereka.
Diantara sekian proses monitoring dan
evaluasi terdapat hal yang begitu ironis, yakni masa pengujian publik yang
menurut peraturan dilangsungkan 3 (tiga) hari, dari tanggal 29 Mei - 01 Juni
2002 tidak mengundang banyak pelapor. Padahal masa uji publik merupakan
kesempatan bagi kelompok kepentingan yang menginginkan judicial review
(peninjauan kembali) proses pemilihan jika menemukan indikasi politik uang.
Pada saat itu hanya Brebes Corruption Wacth (BCW) yang melaporkan dugaan
adanya politik uang, sebelum, saat dan sesudah proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati sehingga hasil pemilihan dianggap cacat hukum. Ironisnya, surat
pengaduan tersebut ditolak oleh Panitia Pemilihan dengan alasan surat tidak
dilampiri salinan tanda terdaftar yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri
Brebes. Alasan kedua, tuduhan politik uang dituduhkan Syamsul Bayan SH
(berdasarkan berita dari koran Radar Tegal, edisi Rabu, 29 Mei 2002),
namun disayangkan karena tuduhan ini dianggap tidak memiliki bukti yang kuat.
Terlebih bukti-bukti indikasi adanya politik uang hanya berupa fotocopy
berita surat kabar. Terakhir, tidak ada pengakuan tertulis yang sah dari
beberapa anggota DPRD yang terlibat dalam politik uang tersebut,[38]
sebagai salah satu prasyarat pengaduan. Sehingga surat tersebut diangap tidak
memenuhi syarat sebagai surat pengaduan seperti yang disyaratkan dalam pasal
30, 32 dan 33 Keputusan DPRD Kabupaten Brebes Nomor 04 Tahun 2002.
Dalam pasal 25 ayat (1) dan (2) PP
151/2000, Panitia Pemilihan diharuskan membuka kesempatan bagi masyarakat yang
ingin melakukan uji publik terhadap hasil pemilihan Bupati. Dengan pembatasan
jika terdapat dugaan penggunaan politik uang, itupun dengan pelbagai prasyarat
yang cukup kompleks. Namun animo masyarakat Brebes sangat minim, atau karena
memang masyarakat menilai tidak ada yang perlu dipermasalahkan berkaitan dengan
proses pemilihan tersebut.
2. Faktor
Politik dan Faktor Ekonomi Politik dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Pada
dasarnya penelitian ini berpijak pada apa yang dikerjakan oleh aktor-aktor yang
terlibat dalam implementasi kebijakan pemilihan Bupati. Aktor-aktor yang
terkait disini terutama aktor yang berhubungan dengan elemen-elemen politik
secara kolektif dalam wujud partai politik yang direpresentasikan sebagai
fraksi dalam parlemen (DPRD) serta elemen personal atau keanggotaan dalam DPRD Kabupaten Brebes.
Dalam perspektif macam ini, fraksi
mempunyai sikap politik tersendiri yang mandiri, dengan pertimbangan bahwa
pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati akan mengemban kepentingan kelompok
mereka. Lagipula fraksi diberi keleluasaan melalui PP Nomor 151 tahun 2000,
dengan fungsi dasar sebagai satu-satunya kendaraan politik (political
vehicle) bagi bakal calon yang ingin mengikuti pemilihan.
Aturan main ini jelas membuat posisi
fraksi menjadi sedemikian strategis sehingga kebijakan apapun yang dikeluarkan
fraksi akan sangat otoritatif. Dalam arti peran strategis fraksi ini membuatnya
menjadi aktor politik yang siginifikan dalam mengimplementasikan kebijakan.
Keterlibatan fraksi ini berkisar pada
wilayah kerja untuk menyaring dan menetapkan pasangan calon serta mengajukannya dalam pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati. Fragmentasi fraksi sebagai aktor kebijakan terlihat signifikan
mengingat fraksi juga mengemban
kepentingan partai yang secara politik mewakili konstituen dengan basis
geopolitik dan sosial yang berbeda. Pertanyaaan yang muncul adalah atas dasar
motivasi apa suatu fraksi memilih pasangan calon untuk mewakili mereka serta
untuk tujuan apa proses pemilihan ini diikuti. Lantas, bagaimana fraksi mengikuti segenap proses politik dalam sesi
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes, apakah fraksi mengikuti semua
mekanisme pemilihan atau tidak.
Seperti penjelaskan diatas,
masing-masing fraksi punya hak dan kewenangan untuk menyaring pasangan calon
yang memenuhi persyaratan administratif dan sesuai dengan kepentingan fraksi
saat pasangan calon tersebut memaparkan visi-misi dan rencana kebijakan mereka.
Namun sinyalemen Wahyudin Nooraly menunjukkan bahwa Fraksi PDIP dan Fraksi KB
lebih memilih untuk mengajukan kader terbaik partai mereka untuk mengikuti
pemilihan. Sehingga apa yang diasumsikan Grindle dalam konteks kebijakan yang
mempengaruhi implementasi kebijakan dimana karakteristik lembaga dan penguasa
turut berperan dalam proses pemilihan dapat dibenarkan.
Perlu diketahui bahwa partai pemenang
Pemilihan Umum tahun 1999 di Kabupaten Brebes adalah PDIP, dengan memperoleh 17
kursi di DPRD. Memang jumlah tersebut belum mayoritas sebab hanya sekitar 37 %
dari jumlah keseluruhan sebanyak 45
kursi. Namun dengan jumlah tersebut PDIP tentu punya kemampuan yang memadai
untuk mendesakkan kepentingannya, terlebih jika berhasil mendapat sokongan atau
berhasil menjalin koalisi dengan fraksi lain. Dengan 37 % suara di DPRD, PDIP mau tak mau menjadi
fraksi yang paling besar suaranya ketika dibutuhkan voting dalam pengambilan
keputusan. Secara nasional, PDIP juga merupakan partai pemenang Pemilihan Umum
1999, bahkan Presiden Republik Indonesia
saat itu, Megawati Soekarno Putri berasal dari PDIP.
Setidaknya apa yang dikatakan James E.
Anderson (dalam Islamy, 2001 : 27) ada
benarnya, bahwa Fraksi PDIP mempertimbangkan nilai-nilai politik (political
values) dan nilai-nilai organisasi (organizational values) dalam
merumuskan kebijakan fraksi dan dalam merumuskan sikap terhadap penerapan PP
151/2000 dan Tata Tertib Pemilihan dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati dimana PDIP mengajukan pasangan calon. Nilai-nilai politik yang dipakai
Fraksi PDIP berlandaskan pada kepentingan politik dari partai politik atau
kelompok kepentingan tertentu. Demikian juga nilai-nilai organisasi dengan landasan berupa nilai-nilai yang
dianut organisasi seperti balas jasa (rewards) maupun pemberian sanksi (sanction)
dalam konteks kepatuhan atau ketidakpatuhan anggota fraksi dalam proses
pemilihan.
Menurut James E. Anderson (dalam Islamy,
2001 : 27), secara keseluruhan terdapat 5 (lima) nilai-nilai yang digunakan
pembuat keputusan dalam menjalankan keputusan. Dua diantaranya sudah disebut
diatas, sedangkan 3 (tiga) lainnya secara berturut-turut; nilai-nilai pribadi (personal values),
nilai-nilai kebijaksanaan (policy values) dan nilai-nilai ideologi (ideologycal
values). Ketiga nilai diatas memiliki derajad relevansi yang berbeda-beda
dan bertingkat dalam konteks persoalan Fraksi
PDIP yang mengajukan calon Bupati dari kader terbaik partainya sendiri.
Sedangkan nilai-nilai pribadi, nilai-nilai
kebijaksanaan dan nilai-nilai ideologi yang berasal dari individu atau
anggota DPRD yang punya hak pilih dan mengikuti proses pemilihan dengan dasar
pertimbangan ketiga nilai yang sudah disebutkan diatas.
Karakter lembaga dan penguasa jelas
berpengaruh terhadap implementasi kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan
kelompok dan struktur politik yang melingkupinya. Artinya jika PDIP sebagai
partai pemenang pemilu di Brebes diinstruksikan untuk memegang kendali
kekuasaan di daerah oleh DPP (Dewan Pimpinan Pusat) PDIP maka Fraksi PDIP DPRD
Kabupaten Brebes tentu tidak punya pilihan lain. Sehingga segenap mekanisme dan
prosedur penyaringan calon hanya akan menjadi prinsip demokrasi yang bersifat
prosedural.
Setidaknya menurut keterangan H.
Muhammadin, ketua Fraksi PDIP DPRD Brebes 1999-2004, DPP atau organisasi pusat
memang mempunyai kewenangan dalam menentukan siapa yang bisa menjadi calon
Bupati maupun Wakil Bupati. Sehingga rumusan bakunya dapat dipahami jika semua
hal yang bersinggungan dengan kepentingan politik organisasi (partai) harus
mendapat rekomendasi dari pusat.
“Saya
kan sebagai kepanjangan tangan partai, sebagaimana kita sebagai kader otomatis
dipelihara oleh organisasi. Untuk persiapan (pemilihan) saya minta pada
organisasi agar supaya dikondisikan,[39]”
demikian H. Muhammadin.
Disini nilai-nilai organisasi dan
nilai-nilai politik jelas diakomodasi oleh Fraksi PDIP dalam
mengimplementasikan PP 151/2000 dalam proses pemilihan. Hal ini dilakukan
terutama untuk tujuan stabilisasi kekuasaan politik dimana pada saat itu, PDIP
menguasai unsur pemerintah daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) sekaligus.
Sehinggga pemerintah tentu lebih membutuhkan calon Bupati yang didukung oleh
basis kepentingannya sendiri. Jadi apa yang dilakukan Fraksi PDIP untuk
mencalonkan kader dari PDIP sendiri sebagai langkah taktis partai.
Karakteristik seperti digambarkan diatas
tidak hanya terjadi pada PDIP namun terjadi juga pada Fraksi KB, Fraksi APU dan
Fraksi KM meskipun dalam konteks yang mungkin berbeda satu sama lain. Secara
umum dapat dipahami jika Fraksi KB pun melakukan hal yang sama dengan PDIP
dalam konteks sama-sama mencalonkan kader terbaiknya dalam menduduki posisi pimpinan
daerah. Sebab nilai politik yang mengandung kepentingan kelompok dan nilai
organisasi yang mengandung kepentingan, visi-misi dan nilai-nilai yang dianut
organisasi politik (partai politik)
pasti diemban oleh fraksi yang merupakan
kepanjangan tangan partai.
Bahasan selanjutnya mencakup peran dan
apa yang dilakukan aktor-aktor kebijakan, baik yang bersifat individual seperti
halnya ketua DPRD, ketua Fraksi maupun angggota DPRD yang mempunyai hak pilih
dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes 2002-2007.
Ketua Fraksi KB, Drs. Ahmad Rofiqi dalam
sesi wawancara dengan peneliti menyatakan bahwa peran fraksi sangat besar,
sehingga anggota DPRD yang notabene adalah anggota fraksi pasti menuruti
keputusan fraksi. Sebab jika tidak mematuhi mekanisme yang digariskan fraksi
kemungkinan akan ada sanksi yang diberikan oleh partai, termasuk dalam
soal pencalonan seperti digambarkan
diatas.
“Ada
hal yang kurang pas dari Undang-undang (PP
Nomor 151 tahun 2000) itu. Pada
satu sisi, siapapun boleh mendaftar, tetapi penentu (siapa calon yang
ditetapkan) itu tetap fraksi. Sedangkan
fraksi, itu jelas dikendalikan oleh partai,[40]”
demikian Drs. Ahmad Rofiqi.
Berbekal itu, memang tak banyak aktor
politik yang terlibat secara personal
dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes tersebut. Kecuali, jika
keanggotaan sebagai bagian dari Panitia Khusus dan Panitia Pemilihan dimasukkan
dalam kategorisasi ini. Namun pada implementasi PP 151/2000 disebutkan
bahwa Panitia Pemilihan hanya bertugas
secara administratif untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah dengan
prosedur yang sudah disyaratkan.
Namun pada beberapa kondisi, terutama
yang berkaitan dengan kesalahan-kesalahan yang muncul akibat tidak adanya
peraturan yang memadai yang membuat proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes 2002-2007 menjadi bermasalah. Jika ditarik lebih jauh dalam proses
perumusan PP 151/2000 dan Tata Tertib Pemilihan yang tidak memuat aturan
mengenai rangkap pencalonan dan pengunduran diri calon sesaat sebelum pemilihan
dimulai maka ada kesalahan umum yang biasa
terjadi.
Menurut Nigro dan Nigro (dalam Islamy,
2001 : 28), tipikal kesalahan dalam
proses penyusunan kebijakan Tata Tertib Pemilihan ini dikarenakan
terlampau menyederhanakan sesuatu (over
simplification). Artinya perumusan tata tertib tersebut diatas tidak
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal muncul seperti halnya dua
kasus unik yang disinggung diatas. Tidak ada aturan yang bisa mengantisipasi
kemungkinan ada aktor-aktor politik (kebijakan) yang memanfaatkan celah sekecil
apapun untuk kepentingan kelompoknya.
Sehingga bias penafsiran atas peraturan
inilah yang dimaanfaatkan oleh aktor-aktor kebijakan, dalam hal ini anggota
DPRD untuk berdebat dan memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Seperti yang
disinggung diatas, fenomena stagnasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati DPRD
Brebes, meminjam teori Grindle (2001), ditentukan oleh kreatifitas dan strategi
aktor-aktor kebijakan. Landasan memilih dan menerapkan strategi politik
didasarkan pada kepentingan partai dan kepentingan personal yang harus
dilindungi dan diperjuangkan. Sehingga implementasi PP 151/2000 dan SK DPRD
04/2002 merupakan buah dari interaksi politik dan pertarungan startegi politik
para aktor kebijakan yang terlibat dengan mengemban kepentingan kelompok
masing-masing. Hal ini mengakibatkan perspektif untuk menilai efektif tidaknya
suatu kebijakan, baik buruknya suatu kebijakan tidak bisa diukur dengan
parameter atau mekanisme yang baku. Karena implementasi kebijakan memungkinkan
terjadinya fleksibilitas akibat proses-proses politik sebagai buah interaksi
antar aktor kebijakan dalam mengagregasikan kepentingan.
Bahasan selanjutnya berkisar pada kajian
ada tidaknya politik uang dalam seluruh rangkaian proses pemilihan, baik
sebelum, saat maupun sesudah pemilihan. Dalam penjelasan pasal 25 ayat (2) PP
151/2000 disebutkan bahwa :
Politik
uang adalah pemberian berupa uang atau bentuk lain yang dilakukan oleh calon
Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah atau yang berkaitan dengan pasangan
calon kepada anggota DPRD dengan maksud terang-terangan dan atau terselubung
untuk memperoleh dukungan guna memenangkan pemilihan Kepala Daerah
dikategorikan sebagai tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap[41].
Isu politik uang dalam tiap pemilihan
kepala daerah bukanlah hal baru. Dalam hampir semua kesempatan pemilihan dimana
seorang kandidat memperebutkan jabatan publik, isu politik uang hampir selalu
menerpa. Memang tidak semua isu bisa menjadi kebenaran. Kadang terbukti, kadang
tidak. Tapi sebagian besar aktor politik hampir kesulitan untuk mengelak dari
tuduhan penggunaan money politics untuk mencapai tujuan politik maupun
tujuan kekuasaan.
Demikian juga yang terjadi pada
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007 yang
melibatkan 4 (empat) fraksi; Fraksi PDIP, Fraksi KB, Fraksi APU, dan Fraksi KM.
Sedangkan Fraksi TNI/Polri memang sengaja tidak dilibatkan dalam penyusunan
hasil penelitian ini karena memang mereka memaminkan peran politiknya dengan
memilih sebagai sebagai stabilisator dan dinamisator sehingga dalam proses
pemilihan tersebut tidak terlibat sebagai aktor dengan memadai. Kehadiran
mereka mungkin sebatas kepentingan legitimasi, meskipun secara politik Fraksi TNI/Polri
acap mengambil posisi abstain saat pemungutan suara.
Isu politik uang ini kembali mengemuka
saat Wahyudin Nooraly membuka beberapa informasi yang berhubungan dengan
politik uang dalam Pilkada Brebes yang
dilakukan sebelum, saat maupun setelah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes 2002-2007.
“Sebelum
hari H ada 2 (dua) orang dari Fraksi PDIP, datang ke saya “Mas,
ini sudah nggak bener, karena semua yang dari PDIP sudah menerima uang,[42]”
demikian Wahyudin Nooraly.
Informasi ini diterima Wahyudin Nooraly
ketika mencermati seluruh tahapan proses pemilihan, terutama pada saat
penjaringan hingga penetapan calon. Indikasi ini begitu kuat sehingga apa yang
dilakukan Wahyudin Nooraly dengan mengundurkan diri sesaat sebelum pemilihan
yang sebetulnya merupakan wujud protes tidak bisa diterima sebagian anggota
DPRD, terutama yang berasal dari fraksi-fraksi yang disebut diatas.
“Kecenderungan
politik uang jelas ada, karena ada bukti pengakuan, karena saya juga ikut
menagih dan mereka nyaur (membayar hutang)[43],”
demikian Wahyudin Nooraly.
Jika merujuk pada PP 151/2000 maka
seharusnya apa yang dikatakan Wahyudin Nooraly segera ditindaklanjuti aparat
hukum yang terkait. Namun sejauh ini tidak ada tindak lanjut yang berarti dari
DPRD selaku penyelenggara pemilihan maupun dari aparat hukum terkait. Terlebih
karena dalam masa uji publik tidak terdapat laporan dari lembaga kemasyarakatan
yang kuat dan sanggup membuat Kepolisian dan Kejaksaan untuk menyelidiki dan
menyidik kasus pengaduan ini. Laporan yang dibuat oleh Brebes Corruption
Wacth (BCW) dianggap tidak lengkap dan tidak sesuai persyaratan sehingga
tidak memadai untuk dijadikan dasar pengungkapan kasus penggunan politik uang
dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati.
Maraknya tuntutan pengembalian uang dari
para Bakal Calon dan atau Para Calon yang kepentingannya tidak terakomodasi
adalah sebagai bukti bahwa fenomena politik uang sebagai bagian dari rangkaian
proses yang tidak bisa dihindari dalam sebuah pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati. Pada mulanya mereka mencoba dengan kemampuan finansiil ataupun dengan
properti khusus mencoba mempengaruhi para Pemilih yang notabene para anggota
DPRD, hal mana sesuai dengan pendapat Mitchell (dalam Staniland 2003 : 52) yang
menyebutkan bahwa “ sang aktor diasumsikan mempunyai properti khusus tertentu
termasuk seperangkat selera atau urut-urutan preferensi dan sebuah kemampuan
untuk membuat keputusan rasional atau kemampuan untuk memilih penyelesaian yang
paling efisien bagi dilema pilihannya” pendekatan ini, pada prinsipnya dapat
diterapkan pada berbagai situasi termasuk pada seorang pemberi suara dalam
bilik polling/TPS.
Pandangan berbeda diungkapkan H.
Muhammadin, ketua Fraksi PDIP DPRD Brebes periode 1999-2004 dengan menyatakan,
“Intinya tidak ada (politik uang), intinya kita sebagai kader hanya mengemban
tugas[44].”
Jawaban singkat H. Muhammadin ini diberikan pada peneliti saat menanggapi
pertanyaan ihwal politik uang.
Lebih lanjut Muhammadin menyatakan bahwa
dalam proses lobi sebelum pencalonan memang banyak pertemuan-pertemuan yang
memungkinkan terjadinya politik uang.
“Kami
bukan mau sok suci. Ada kontak dari anggota (fraksi) kan kita otomatis menemui.
Ternyata saya disana diperkenalkan pada calon Bupati, ya sudah. Setelah itu
saya pulang. Adapun kesana ada apa, saya tidak tahu, sebab kita tidak sebagai
pemrakarsa. Saya tidak tahu asal usulnya (pertemuan) hanya karena saya ketua
fraksi maka saya diundang,[45]”
demikian Muhammadin.
Dengan pandangan agak diametral, Drs.
Ahmad Rofiqi, ketua Fraksi KB menanggapi isu politik uang dengan permisif.
Menurutnya isu politik uang adalah hal yang abu-abu, sulit dideteksi dan
dibuktikan.
“Sebenarnya
politik uang itu kita sulit membuktikan. Misalnya apakah Goyud (nama panggilan Wahyudin Nooraly) pakai atau
tidak itu kami tidak menyelidiki. Sedangkan gugatan Syamsul Bayan (mantan bakal
calon) kan bukan ditujukan pada fraksi, tapi pada orang-orang yang telah
menerima uang dan minta dikembalikan. Dan setahu saya, uangnya sudah
dikembalikan semua,[46]”
demikian Ahmad Rofiqi.
Secara konsepsional, definisi korupsi
bukan terletak pada apakah uang yang telah diberikan sudah dikembalikan atau
belum, melainkan terletak pada itikad atau niat untuk apa uang tersebut
diberikan. Apakah pemberian uang tersebut ditujukan untuk mempengaruhi
kebijakan, untuk membeli atau mempengaruhi suara dalam proses pemilihan atau
memang sengaja diperuntukkan untuk menyuap seseorang atau institusi untuk
mencapai kepentingan politik orang atau pihak yang memberi uang.
Merujuk pada berita berjudul Makin
Banyak Sawerannya ... Makin Banyak Suaranya yang dimuat harian Radar
Tegal edisi Rabu, 29 Mei 2002 maka indikasi adanya politik uang agaknya
sulit dipungkiri. Dalam salah satu paragraf, Syamsul Bayan mengatakan pernah
memberikan uang sebesar Rp 95.000.000,- (sembilan puluh lima juta rupiah) yang
dibayarkan 2 (dua) kali kepada Sarei Abdul Rosyid SIP, ketua DPRD Kabupaten
Brebes periode 1999-2004[47].
Uang tersebut menurut Syamsul Bayan juga dibagi-bagikan pada ketua dan anggota
Fraksi PDIP, antara lain; H. Muhammadin, Sukirso, Nurrokhmi, Raharjo, Radono
Walam, bahkan ketua Fraksi KB, Drs. Ahmad Rofiqi juga disebutkan menerima uang
tersebut.
Jauh sebelumnya, seseorang dengan nama
Imam Royani dan Hasyim Dwikadi bahkan pernah membuat surat pernyataan tentang
pemberian uang atas nama Ir. Imam Sholahudin Al-Ayubi sebesar Rp 12.000.000,-
(dua belas juta rupiah) kepada Sarei Abdul Rosyid SIP untuk keperluan lobi
sebagai bakal calon Bupati[48].
Bukan bermaksud melakukan caracter
assasination terhadap Sarei Abdul Rosyid SIP jika data-data yang ada
menunjukkan bahwa indikasi politik uang ini seolah sudah menjadi fakta karena
adanya pengakuan dari 2 (dua) pihak yang secara kebetulan memberi uang untuk
kepentingan yang sama, yakni lobi-lobi politik. Agar pemberi uang yang
mengatasnamakan salah seorang bakal calon dapat dimuluskan jalannya pada saat
penetapan pasangan bakal calon maupun penetapan pasangan calon Bupati dan Wakil
Bupati.
Gugatan Perdata dari Syamsul Bayan SH,
mantan bakal calon Bupati, di Pengadilan Negeri Brebes pada beberapa anggota DPRD,
diantaranya pada Sarei Abdul Rosyid SIP dan H. Muhammadin dapat dijadikan acuan
bahwa memang telah terjadi politik uang dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati. Keputusan pengadilan atas gugatan Syamsul Bayan merupakan sebuah vonis
yang aneh sekaligus lucu. Bagaimana tidak? Dalam gugatan pidana Syamsul Bayan
dinyatakan kalah sedangkan amar putusan hakim juga menyatakan bahwa uang yang
sudah diberikan Syamsul Bayan pada tergugat harus segera dikembalikan.
C.
Analisis Implementasi
Kebijakan PP 151/2000 dan SK DPRD 04/2002
Analisis kebijakan ini dirujuk untuk
menggambarkan proses penerapan kebijakan, dalam hal ini PP 151/2000 dan
Keputusan DPRD 04/2002 tentang Tata Tertib Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes masa jabatan tahun 2002-2007.
Jika dirunut dari keseluruhan proses
pemilihan dari sejak tahap persiapan, tahap pelaksanaan pemilihan hingga tahap
monitoring dan evaluasi, maka hanya tahap monitoring dan evaluasi saja yang
berjalan sebagaimana mestinya. Itupun tidak mencapai hasil maksimal karena
proses pengujian publik yang diajukan oleh Brebes Corruption Wacth (BCW) tidak
ditanggapi karena dianggap tidak memenuhi syarat oleh Panitia Pemilihan.
Sedangkan dalam 2 (dua) tahap sebelumnya, yakni dalam tahap persiapan maupun
tahap pelaksanaan pemilihan terdapat banyak penyimpangan yang disebabkan oleh
kepentingan politik dan tafsir atas pasal-pasal dalam PP 151/2000 yang dianggap
menguntungkan kelompoknya.
Pertama, terdapat sinyalemen kuat yang
mendekati fakta bahwa Fraksi PDIP dan Fraksi tidak menjalankan proses
penyaringan sebagaimana mestinya karena kedua fraksi tersebut sejak awal sudah
mempunyai calon yang tidak bisa diganggu gugat. Sehingga tahap penyaringan yang
dilakukan fraksi PDIP dan Fraksi KB terkesan hanya bersifat prosedural. Hal ini
tentu saja bertentangan pasal 15 juncto pasal 17 PP 151/2000 yang mengharuskan
tiap-tiap fraksi melakukan proses penyaringan, baik penyaringan tahap I maupun
penyaringan tahap II, sebagaimana mestinya terhadap bakal calon yang sudah
mendaftarkan diri melalui Panitia Pemilihan.
Kedua, ketiadaan pasal dalam PP 151/2000
maupun SK DPRD 04/2002 yang mengatur tentang rangkap pencalonan. Sehingga
Fraksi APU dan Fraksi KM akhirnya sepakat untuk sama-sama mengajukan Wahyudin
Nooraly sebagai calon Wakil Bupati untuk 2 (dua) pasangan calon Bupati yang
berbeda. Hal ini merupakan contoh konkret maldesign kebijakan yang
akhirnya membawa implikasi pada proses-proses pemilihan selanjutnya.
Memasuki tahap pelaksanaan pemilihan
terdapat kurang lebih 3 (tiga) permasalahan yang berkaitan dengan penerapan PP
151/2000 dan SK DPRD 04/2002. Pertama, peristiwa pengunduran diri Wahyudin
Nooraly selaku calon Wakil Bupati sesaat sebelum pemungutan suara dimulai yang
menjadi trigger terjadinya stagnasi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes.
Secara yuridis harus diakui bahwa pengunduran diri slah seorang pasangan calon
merupakan hak politik yang sah bisa digunakan. Lagipula tidak terdapat satu
pasalpun yang menyebutkan bahwa pengunduran diri tidak dapat dilakukan sebelum
Rapat Paripurna Tahap I dengan agenda pemungutan suara. Hanya terdapat pasal 39
dalam Tata Tertib Pemilihan yang berisi sanksi terhadap salah satu calon maupun
pasangan calon yang mengundurkan diri, tanpa menyebut dalam tahap mana
pengunduran diri tersebut dilakukan, maka yang bersangkutan harus membayar
segala biaya yang ditimbulkan atas kerugian dalam seluruh proses pemilihan
kepada Panitia Pemilihan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak pengunduran
dirinya dan yang bersangkutan tidak boleh mengikuti proses penyaringan ulang.
Artinya kubu Fraksi APU dan Fraksi KM memang melihat celah yuridis ini bisa
dipakai untuk mendesakkan kepentingannya berupa penundaan proses pemilihan
maupun pemilihan ulang itu sendiri.
Kedua, saat pengunduran diri dilakukan
selanjutnya langkah politis ini akan mengandung implikasi yuridis yang fatal.
Karena Wahyudin Nooraly mengundurkan diri maka kedua pasangan caloln yang lain,
yakni Djuhad Mahya dari Fraksi APU dan Suwarno Anggasuta dari Fraksi KM
otomatis tidak punya pasangan Wakil Bupati, sehingga pencalonannya bisa
dianggap gugur. Terlebih karena Muhadjir M. Ardian, ketua Fraksi APU langsung
menarik pencalonan atas Djuhad Mahya-Wahyudin Nooraly. Langkah ini diikuti oleh
Ketua Fraksi KM yang menarik pencalonan atas Suwarno Anggasuta-Wahyudin Nooraly.
Sehingga secara otomatis kedua fraksi ini tidak punya calon dalam pemilihan,
atau dengan kata lain pasangan Indra Kusuma-HA Fariz Sulhaq tidak mempunyai
rival alias calon tunggal. Hal ini jelas-jelas dilarang secara yuridis, sebab
seperti tertera dalam pasal 18 ayat (8) PP 151/2000 yang menyebutkan bahwa,
“Dalam hal pasangan calon hanya terdapat 2 (dua) pasangan dan salah satu
pasangan mengundurkan diri, proses penetapan pasangan calon diulang.” Demikian
juga dengan pasal 14 ayat (1) SK DPRD 04/2002 yang menyebutkan bahwa, “Dalam
hal pasangan calon hanya terdapat 2 (dua) pasangan dan salah satu pasangan
mengundurkan diri, proses penetapan pasangan calon diulang.” Artinya cukup
jelas bahwa langkah Panitia Pemilihan yang dimotori oleh Sarei Abdul Rosyid SIP,
dengan tetap melanjutkan proses pemilihan merupakan pelanggaran terhadap kedua
pasal diatas.
Ketiga, ihwal pemungutan suara yang
masih bersifat kontroversial. Sebab ketika anggota Fraksi APU dan Fraksi KM
melakukan walk out karena tidak menerima proses pemilihan dilanjutkan, kartu
suara ke-12 anggota DPRD yang bersangkutan tetap dimasukkan dalam kotak suara
dan dihitung sebagai abstain. Walk out merupakan sikap menolak keputusan
yang paling konkret dalam politik. Meninggalkan ruangan tanpa ijin pada pimpinan
rapat dan tidak ikut terlibat dan bertanggungjawab dalam proses pemilihan
selanjutnya. Namun oleh Panitia Pemilihan daftar hadir ke-12 anggota DPRD yang walk
out tersebut dianggap sebagai persetujuan, sehingga rapat paripurna
dianggap masih kuorum, pengunduran diri tidak diterima, pemungutan suara
dilanjutkan dan kartu suara ke-12 anggota DPRD yang walk out tetap ikut
dihitung sebagai abstain.
Secara yuridis apa yang dilakukan
Panitia Pemilihan merupakan pelanggaran atas pasal pasal 21 ayat (2) yang menyatakan
bahwa, “Penggunaan hak anggota DPRD untuk memilih calon Bupati dan Wakil Bupati
tidak dapat dikuasakan/diwakilkan kepada orang lain.” Sedangkan pasal 21 ayat
(3) yang merupakan kelanjutan dari ayat ini menyatakan bahwa :
“Anggota
DPRD yang tidak hadir dalam penggunaan hak pilihnya maka yang bersangkutan
kehilangan hak suaranya.” Pasal ini mengandung arti kartu suara tidak boleh
dipindahtangankan apalagi dimasukkan dalam kotak suara oleh orang lain,
termasuk dalam hal ini Panitia Pemilihan. Selanjutnya, jika seorang anggota
DPRD tidak berada di ruang rapat paripurna maka ia secara otomatis akan
kehilangan hak suaranya dan bukan abstain atau tidak memilih melainkan tidak
punya hak pilih.
BAB VI
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A.
Kesimpulan
1. Proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Brebes Masa Jabatan tahun 2002-2007
Proses pelaksanaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa
Jabatan tahun 2002-2007 yang dilaksanakan untuk mengganti Bupati Brebes
Almarhum Tajuddin Noor’aly karena meninggal dunia sebelum masa jabatannya
berakhir, diawali dengan Tahap Persiapan yang meliputi kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan pembentukan Panitia Khusus yang menyusun Tata Tertib
Pemilihan dan Panitia Pemilihan yang bertanggung jawab menyelenggarakan proses pendaftaran, penyaringan bakal calon,
penetapan pasangan calon dan terakhir penetapan pasangan calon. Keseluruhan
proses tersebut dilakukan di DPRD
Kabupaten Brebes dengan melibatkan seluruh anggota DPRD yang mewakili Fraksi
PDI-P,F-PKB,FKM,FPAN dan F-TNI POLRI.Tahap Persiapan ini dilaksanakan karena
Tata Tertib Pemilihan mengharuskan keseluruhan proses dilaksanakan sesuai
dengan tata urutan yang berlaku sesuai pedoman yang berlaku dalam PP 151/Tahun
2000.
Dalam
tahap persiapan tersebut khususnya penyusunan tata tertib pemilihan, terdapat
permasalahan yang merupakan implikasi dari penyimpangan (deviasi)
terhadap implementasi PP 151/2000 dan SK DPRD 04/2002 yang merupakan landasan
hukum proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes. Permasalahan tersebut lebih bersifat maldesign dengan tidak
dicantumkannya satu pasalpun yang membolehkan atau melarang rangkap pencalonan
Bupati maupun Wakil Bupati yang berpasangan dengan calon Bupati maupun Wakil
Bupati lain yang diajukan oleh fraksi yang berbeda.
Selain itu juga tidak terdapat ketentuan
yang secara tegas mengatur boleh atau tidaknya seorang calon Bupati atau Wakil
Bupati mengundurkan diri saat pemilihan berlangsung. Dalam pasal 18 ayat (8) PP 151/2000 hanya menyatakan, “Dalam hal
pasangan calon hanya terdapat 2 (dua) pasangan dan salah satu pasangan
mengundurkan diri, proses penetapan pasangan calon diulang”. dimana secara
eksplisit pasal ini menyatakan tidak diperbolehkannya calon tunggal dalam
pemilihan. Pelanggaran juga dilakukan Panitia Pemilihan terhadap pasal 14 ayat
(1) SK DPRD 04/2002 yang menyatakan, “Dalam hal pasangan calon hanya terdapat 2
(dua) pasangan dan salah satu pasangan calon mengundurkan diri, proses
penetapan pasangan calon diulang.”
Selanjutnya tahap Pelaksanaan Pemilihan
dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan, Pimpinan
Rapat dan seluruh Anggota DPRD yang tergabung dalam Fraksi-Fraksi di
dalam ruang rapat paripurna. Akan tetapi karena tata urutan pelaksanaan
sebagaimana tertuang dalam Tata Tertib Pemilihan tidak disusun dengan baik,
maka berpengaruh menimbulkan masalah dalam proses pemilihan tersebut. Masalah
yang muncul adalah terdapat rangkap pencalonan oleh Wahyudin Noor’aly,
masing-masing sebagai calon Wakil Bupati dari Fraksi Karya Massa yang
mencalonkan Suwarno Anggasuta, S.H.,M.Si. sebagai Calon Bupati dan Fraksi
Amanat Persatuan Umat yang mencalonkan Djuhad Mahja,S.H.sebagai Calon Bupati.
Padahal pasangan calon yang maju dalam tahap pemilihan ini ada tiga, sehingga
ketika terjadi pengunduran diri oleh
Wahyudin Noor’aly pada saat menjelang pemungutan suara dimulai, maka pemilihan
tersebut praktis hanya terdapat satu pasangan calon saja yaitu pasangan Indra
Kusuma dengan Ahmad Faris Sulhaq, S.H. yang berasal dari Fraksi PDI Perjuangan
dengan Fraksi PKB. Dalam tahap pelaksanaan pemilihan muncul perbedaan pendapat
yang tajam terhadap tafsir ketentuan tersebut diatas, sehingga ketika
kepentingan dua Fraksi Karya Massa dan Amanat Persatuan Umat tidak diakomodir
oleh pimpinan rapat paripurna maka 12 orang anggota fraksi tersebut melakukan
aksi walk-out dengan cara keluar dari ruang rapat paripurna tersebut.
Tahap pelaksanaan pemilihan sebagaimana
dimaksud dilakukan dengan metode voting dimana satu anggota memiliki hak satu
suara. Akan tetapi karena terjadi manipulasi terhadap kartu suara sehingga pada
saat penghitungan dilaksanakan, suara milik 12 orang anggota Fraksi yang
walk-out tersebut tetap dihitung sebagai suara abstain karena pada saat itu,
kartu suara yang berjumlah 12 tersebut tetap dimasukkan dalam kotak suara oleh
Panitia Pemilihan, padahal menurut ketentuan pasal 21 ayat (2) Keputusan DPRD
Brebes Nomor 04 Tahun 2002 yang mengatur Tata Tertib Pemilihan disebutkan
bahwa, “Penggunaan hak suara anggota DPRD untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati
tidak dapat dikuasakan/diwakilkan kepada orang lain”. Bentuk pelanggaran lain
yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan terhadap kartu suara adalah dengan cara
melakukan tipu muslihat dengan tetap menganggap sah kartu suara pemilih yang di
kertas suaranya terdapat tulisan atau coretan selain tanda silang (X), karena
menurut Keputusan DPRD Kabupaten Brebes Nomor 04 Tahun 2002 Pasal 26 juncto
Pasal 25, jika ada tulisan atau coretan selain tanda silang (X), maka suara
menjadi tidak sah.
Tahap Monitoring dan Evaluasi adalah
merupakan bagian dari kegiatan yang berupa pengawasan atas jalannya pemilihan
maupun penilaian terhadap jalannya pemilihan Bupati dan wakil Bupati tersebut.
Sebagai bagian dari proses demokratisasi di daerah maka terdapat beberapa
aktivis NGO/LSM ( Non Government Organisation/Lembaga Swadaya Masyarakat ) yang
turut serta melakukan monitoring dan mengontrol jalannya pemilihan, sekaligus
memantau sah atau tidaknya proses pemilihan tersebut. Sedangkan Tahap Evaluasi
dilakukan pada saat pasca pemilihan yang melibatkan Gubernur Jawa Tengah dan Menteri
Dalam Negeri. Tahap Monitoring dan Evaluasi dilakukan untuk menakar seberapa
jauh terjadi penyimpangan terhadap PP 151/2000 dan tata tertib Pemilihan
sekaligus menilai pada titik mana telah terjadi penyimpangan, bagaimana proses
penyimpangan terjadi dan bagaimana solusinya yang harus dilakukan kedepan.
Monitoring dilakukan dengan cara ikut menyaksikan proses pemilihan, pemungutan
dan penghitungan suara. Sedangkan evaluasi dilakukan dengan mengirim surat
protes kepada instansi yang lebih tinggi sepanjang berkaitan dengan
penyelenggaraan dan penyimpangan pemilihan tersebut, diantaranya Gubernur Jawa
Tengah dan Menteri Dalam Negeri. Beberapa pihak yang tidak puas bahkan
melaporkan kecurangan atau manipulasi surat suara yang saat ini ada dititipkan
di Kepolisian Resort Brebes dan adapula gugatan pengembalian uang dari para
Bakal Calon yang tidak jadi terhadap beberapa oknum anggota DPRD dari Fraksi
PDI-Perjuangan kehadapan Pengadilan Negeri Brebes.
2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa Jabatan Tahun 2002-2007
a.
Faktor Politik
Faktor Politik yang mempengaruhi lebih
banyak disebabkan oleh faktor eksternal atau lingkungan luar kebiajakan yang
pada umumnya terdiri dari para aktor kebijakan yang bersifat personal, aktor
yang terlibat dalam proses pemilihan tersebut terdiri dari para anggota DPRD
yang tergabung dalam fraksi-fraksi. Selanjutnya berdasarkan hasil perolehan
suara dalam Pemilihan Umum 1999, maka komposisi kekuatan partai politik yang
memiliki perwakilan Fraksi di DPRD sangat dominan dan dikuasai oleh PDI-P yang
memiliki jumlah kursi untuk 17 orang dan PKB 11 orang, jika dibadingkan dengan
dua fraksi lainya yaitu FKM dan FAPU. Dengan kekuatan yang dimiliki tersebut
maka faktor kepentingan dan strategi politik FPDI dan FKB untuk mengajukan
pasangan Indra Kusuma,BcKn. dengan Ahmad Faris Sulhaq, S.H. sebagai Bupati dan
Wakil Bupati dapat dengan mudah memperoleh dukungan karena jika digabung jumlah
suara dua fraksi tersebut adalah 28.
Komposisi kekuatan fraksi-fraksi yang
ada di DPRD sangat menentukan terhadap konstelasi politik terakhir yang terjadi
beberapa saat sebelum pemilihan dimulai, upaya dan siasat politik terakhir yang
mempengaruhi sah tidaknya, lancar tidaknya proses pemilihan tersebut adalah
bagian dari strategi aktor yang terlibat. Sehingga sah dan tidaknya rangkap pencalonan, pengunduran diri calon
pada saat menjelang akan dimulainya tahap pemungutan suara, dan penentuan sikap
diteruskan atau tidaknya proses pemilihan sangat dipengaruhi faktor-faktor politik
sebagaimana tersebut diatas.
Karakterisitik lembaga DPRD yang
mayoritas dikuasai oleh Fraksi PDI-P dan PKB sangat memungkinkan untuk
memainkan peran politiknya. Sehingga peran untuk menentukan merah hitamnya
suatu kebijakan dalam proses pemilihan tersebut seringkali diarahkan pada
bentuk dan mekanisme pengambilan keputuan secara voting, tanpa menghiraukan
prinsip kepatuhan dan daya tanggap pelaksana terhadap ketentuan-ketentuan yang
telah mengaturnya.
b.
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang mempengaruhi proses
pemilihan ini meliputi indikasi ada atau tidaknya politik uang dalam proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes tersebut. Kecenderungan untuk melakukan potik uang atau
money politic adalah fenomena yang
tidak bisa dipisahkan dalam setiap agenda untuk dapat memenangkan pemilihan.
Dalam semua kesempatan pemilihan dimana
seorang kandidat memperebutkan jabatan publik, isue tersebut hampir selalu
menerpa. Memang tidak semua isue dapat dibuktikan kebenarannya, tetapi sebagian
besar aktor politik hampir kesulitan untuk mengelak dari tuduhan penggunaan
politik uang sebagai sarana untuk
mencapai tujuan politik maupun tujuan
kekuasaannya, sehingga Mitchell (dalam Staniland 2003 : 52) menyebutkan bahwa “
sang aktor diasumsikan mempunyai properti khusus tertentu termasuk seperangkat
selera atau urut-urutan preferensi dan sebuah kemampuan untuk membuat keputusan
rasional atau kemampuan untuk memilih penyelesaian yang paling efisien bagi
dilema pilihannya” pendekatan ini, pada prinsipnya dapat diterapkan pada
berbagai situasi termasuk pada seorang pemberi suara dalam bilik polling/TPS.
Dengan demikian maka indikasi terjadinya politik uang proses pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati Brebes tersebut juga tidak dapat dihindarkan Dimana
indikatornya adalah maraknya tuntutan pengembalian uang atau gugatan
wanprestasi di Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh para Bakal Calon yang
tidak jadi kepada para oknum anggota DPRD dari Fraksi PDI-P. Pengaruh faktor
ekonomi dalam proses pemilihan tersebut semakin menjadi lebih menarik dikaji,
karena pada saat proses pemilihan tersebut dilaksanakan justeru terdapat
masalah-masalah yang menyebabkan proses pemilihan tersebut tertunda sampai 7
(tujuh) bulan.
B. IMPLIKASI
Pelajaran yang bisa dipetik dari
permasalahan yang muncul dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
masa jabatan tahun 2002-2007 adalah perlunya ketelitian dalam membuat peraturan
atau tata tertib. Sehingga ketika peraturan atau kebijakan tersebut
diimplementasikan tidak terdapat celah yang memungkinkan timbulnya bias
penafsiran yang mungkin dilakukan oleh aktor-aktor politik untuk mencapai
tujuan politiknya masing-masing.
Implikasi dari maldesign ini bisa
berupa penggunaan tafsir yang bersifat absolut dari salah satu elemen
kepentingan politik, dalam hal ini fraksi maupun partai politik, demi
mendesakkan kepentingannya. Hal ini terlihat jelas pada proses rangkap
pencalonan yang tidak tercover dalam PP 151/2000 maupun dalam Tata Tertib
Pemilihan. Sehingga ruang demokrasi yang seharusnya bersifat toleran terhadap
tafsir-tafsir yang dilatarbelakangi kepentingan tidak bisa muncul ketika suatu
tafsir absolut dipaksakan. Hal yang sama terjadi pada tahap pelaksanaan
pemilihan, dimana terdapat penolakan terhadap pengunduran diri salah satu
pasangan calon. Penolakan ini mempunyai implikasi yuridis yang serius. Jika
diterima maka hanya akan terdapat satu calon tunggal, sedangkan jika ditolak
maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak politik seseorang, sebab
tidak ada aturan yang melarang pengunduran diri salah seorang pasangan calon.
Secara politis tarik-menarik dua kutub kepentingan yang direpresentasikan
antara Fraksi PDIP - Fraksi KB dan Fraksi APU – Fraksi KM ini merupakan
implikasi dari tidak beresnya implementasi PP 151/2000 dan Tata Tertib Pemilihan.
Dalam arti, jika memang pengunduran diri Wahyudin Nooraly diterima, bukankah
bisa dilakukan pemilihan ulang dengan kembali melakukan proses penyaringan
tahap II tanpa harus mengganti pasangan calon dari FPDIP dan FKB.
Selanjutnya, perlunya membentuk suatu
organisasi kepanitiaan yang kuat dan memadai dalam melaksanakan proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati ke depan. Namun hal tersebut kini sudah dapat
diatasi dengan dikeluarkannya UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti atas UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Demikian pula dikeluarkannya PP Nomor 6 Tahun 2005 untuk menggantikan PP Nomor
151 tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dimana terdapat perbedaan mendasar dalam proses
pemilihan antara kedua Undang-undang berikut kedua PP diatas. Hal ini berkaitan
dengan sistem dan penyelenggara pemilihan, jika UU 22/1999 dan PP 151/2000
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati diselenggarakan oleh DPRD dan dipilih oleh
anggota DPRD, maka dalam UU 32/2002 dan PP 6/2005 pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati dilaksanakan secara langsung dengan dipilih oleh rakyat dan
diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di masing-masing kota
atau Kabupaten.
Tabel
10. Matriks informan dan keterangan yang sesuai dengan fokus penelitian
INFORMAN
|
FOKUS
|
KUTIPAN
|
H. Muhammadin,
Ketua Fraksi PDIP DPRD Kabupaten Brebes 1999-2004
|
Tahap persiapan
Tahap pelaksanaan
pemilihan
Tahap monitoring
dan evaluasi
|
-
“Dimana kader yang bisa diusung
harus mendapatkan rekomendasi dari organisasi. Ya karena kita sebagai kader,
apapun bentuknya, siapapun orangnya, yang penting mendapatkan rekomendasi
dari DPP, itulah yang kita usung,“
-
“Kami tidak berani menanggapi
secara institusi, itu kan menyangkut rumah tangga orang lain. Yang mestinya
menanggapi kan orang luar atau publik. Secara aturan memang tidak ada
masalah, karena memang tidak diatur.”
-
“Kalau saya tetap tidak mengakui
bahwa (pemilihan itu) calon tunggal. Karena memang ada calon, yang artinya
dia datang. Mereka datang, cuma antara siap dan tidak siap. Menurut pandangan
saya, yang namanya peserta baik calon Bupati atau Wakil Bupati maupun anggota
DPRD sebagai pemilik hak pilih, jika sudah hadir dan menandatangani daftar
hadir itu sudah merupakan partisipasi. Dalam perjalanannya kemudian mereka walk
out, itu kan sudah hak mereka.”
-
“Kalau saya melihat, katakanlah
dari yang pro juga mengajukan (lobi), yang kontra juga mengajukan. Sehingga
kalau kesana kadang suka bareng- bareng. Jadi (Depdagri) tidak campur tangan,
karena memang harus campur tangan. Kebetulan kami disana juga aktif, jadi
istilahnya kami mendekati tahu. Karena yang kontra juga menyampaikan, yang
pro apalagi, kan begitu.”
|
Drs. Ahmad Rofiqi, Ketua Fraksi PKB DPRD
Kabupaten Brebes 1999-2004
|
Tahap persiapan
Tahap pelaksanaan
pemilihan
|
-
“Faris itu paling mendekati
kenyataan visi misinya. Kita terbuka. Tetapi kan kita juga bergerak di dalam
politik kepentingan. Faris ketua DPC PKB, Andi Najmi Wakil Ketua DPC PKB,
Slamet Abdullah Nury juga wakil ketua. Kalau pendekatan partai tentu saja
bagaimana kadernya bisa lolos. Minimal sampai balon maksimal sampai jadi.
Karena masing-masing faksi punya jago, ya akhirnya voting. Partai kalau mau
berhasil sebaiknya hanya meloloskan satu calon saja. Biar suara fraksi
tidak terpecah, untung jika bisa
mengambil suara fraksi lain, padahal fraksi lain juga punya calon sendiri.“
- “Tatibnya kan jelas, calon tidak
bisa mengundurkan diri. Karena sudah diparipurnakan, maka calon yang
bersangkutan harus mengganti semua biaya yang dikeluarkan oleh dewan. Karena
dewan kan harus memulai lagi. Wahyudin mengundurkan diri secara sepihak, kan
sebenarnya bisa mengundurkan diri sebelum paripurna. Padahal saat itu kan
sidang paripurna pemilihan, jadi tidak ada tawar menawar. Mengundurkan diri
kan tawar-menawar. Kami menolak. Karena tatibnya tidak membolehkan, karena
saat itu bukan orang mau terus atau tidak.”
|
Wahyudin Nooraly, calon Wakil Bupati Brebes
2002-2007
|
Tahap persiapan
Tahap pelaksanaan
pemilihan
|
-
“Saya kecewa pada saat diuji di
Fraksi PDIP dan di Fraksi PKB. Saat itu saya mengira mereka sudah punya
calon, karena mereka terlihat tidak serius menguji. Pertama, dari 17 anggota
fraksi PDIP, yang hadir hanya 5 (lima) orang. Artinya bagaimana mereka
memberikan penilaian terhadap saya jika yang menguji hanya 5 (lima) orang,
sedangkan yang memutuskan nanti 17 orang.”
-
“Saya sudah memperingatkan,
kira-kira seminggu sebelum hari-H. Pada anggota dewan dan ketua, tolong uang-uang
yang mereka terima itu dikembalikan dulu sebelum pemilihan. Sebab saya tidak
ingin terlibat dalam perhelatan yang kemudian menimbulkan tuntutan di
belakang hari. Karena di banyak daerah yang menjalankan pilkada, ributnya
setelah terjadi pemilihan. Yang kalah menggugat, yang rugi rakyat karena
kepala daerah hanya memikirkan gugatan-gugatan ini”
-
“Kalau (masalah) ini tidak bisa
dibereskan saya akan mundur. Ada yang memberi saran, mundurnya jangan
sekarang tapi besok saja saat pemilihan dengan cara minta interupsi. Saya
tidak jadi mundur, tapi saya ngomong, saya minta interupsi sebentar
agar sidang pemilihan ini ditunda untuk seminggu atau setidaknya sebulan
untuk membereskan masalah-masalah yang tadi.”
|
HM. Sunadi Ilham,
Wakil Ketua DPRD
Kabupaten Brebes 1999-2004
|
Tahap pelaksanaan
pemilihan
|
-
“Sebetulnya, keempat Pimpinan
Dewan pada saat itu sudah kompak menganggap proses pemilihan tidak sah,
sehingga harus diulang. Dalam rapat Pimpina Dewan juga disepakati bahwa
pemilihan tidak sah dan harus diulang. Tidak tahu apa alasannya, tiba-tiba
saja Sarei Abdul Rosyid dalam satu sesi pertemuan (berikutnya) dengan
Pimpinan Fraksi dan Panitia Pemilihan tiba-tiba mengatakan, “Besok, saya akan
mengadakan rapat paripurna penetapan,” Kita sebagai Pimpinan Dewan jadi
bingung, ada apa ini kok tiba-tiba.
|
Tabel 11. Jadwal
kegiatan penelitian
No
|
Kegiatan
|
Juni ‘04 –Februari ’05
|
Maret
|
April
|
Mei
|
Juni
|
Keterangan
|
1.
|
Seminar proposal dan revisi
proposal
|
X
|
-
|
||||
2.
|
Penelitian dan pengumpulan data
|
X
|
3 Minggu, minggu I -
III Maret ‘05
|
||||
3.
|
Analisis Data
|
X
|
X
|
2 Minggu, minggu IV
Maret – minggu I April ‘05
|
|||
4.
|
Pelaporan Tesis
|
X
|
4 Minggu, minggu II
April – minggu I Mei ‘05
|
||||
5.
|
Ujian Tesis
|
X
|
3 Minggu, minggu II – minggu IV Mei ‘05
|
Jadwal penelitian ini tidak bersifat baku, dalam arti bisa
mengalami penambahan waktu tergantung situasi dan kondisi yang terkait dengan
hasil penelitian yang dapat dipercaya hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin, 2001, Analisis Kebijaksanaan
Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Biro Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Propinsi Jawa
Tengah, 2002, Peraturan Pemerintah Nomor 151 tahun 2000 Tentang tata cara
Pemilihan, Pengesahan Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Jawa
Tengah.
Dunn, William N, 2000, Analisis Kebijakan Publik,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Edward III, George C.,1980, Implementing Public
Policy, Congressional Quartely inc. Washington, DC.
Islamy, M. Irfan, 2000, Prinsip-prinsip Perumusan
Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Cet. Ke 9 Jakarta.
Kencana, Inu., Jamaludin Tanjung dan Supardan Moleong,
1999, Ilmu Adminstrasi Publik, Rineka Cipta, Jakarta.
Miles, Mattew B & Huberman A. Michael., 1992. Analisis
Data Kualitatif, UI Press, Jakarta.
Moleong, Lexy J, 2000, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Cetakan II, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Osborne David and Peter Plastrick, 1977. Reinventing
Government, How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public
Sector.
Program Pasca Sarjana UNSOED, 2002. Pedoman Penulisan
Tesis dan Karya Ilmiah, Purwokerto.
Ripley, Randal B.& Grace A. Franklin, 1982
& 1986. Policy Implementation
& Bureaucracy, The Dorsey Press, Chicago, Illinois.
Ripley, Randal B, 1985, Policy Analisis in Political
Science, The Dorsey Press, Chicago, Illionis.
Singarimbun, Masri & Sofian Effendi, 1984, Metodologi
Penelitian Survei, Cetakan ke-4, LP3ES.
Staniland, Martin, 2003,Apakah Ekonomi Politik Itu?: Sebuah Studi Teori Sosial dan
Keterbelakangan, Cetakan ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Wibawa, Samudra, Yuyun Purbokusumo, Agus Pramusinto,
1994. Evaluasi Kebijakan Publik, PT. Raya Grapindo Persada, Jakarta.
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan
Publik, Med Press, Yogyakarta.
Yuwanto, 2002, Penilaian Kritis Terhadap Visi, Misi
dan Rencana Kebijakan Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati, Fisip Undip.
Dokumen-dokumen
resmi
Sekretariat DPRD Brebes, 2002, Dokumen Permohonan Pengesahan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa
Jabatan Tahun 2002-2007
Sekretariat DPRD Brebes, 2002, Dokumen Proses Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
Masa Jabatan Tahun 2002-2007
Sekretariat DPRD Brebes, 2002, Keputusan Pimpinan DPRD Nomor 05 Tahun 2002 tentang Penyelesaian
Masalah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007
Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten
Brebes, 2002, Basis Data Kabupaten Brebes
Tahun 2002,
Surat
kabar dan internet
Radar
Tegal, Makin Banyak Sawerannya, Makin
Banyak Suaranya, edisi
Rabu, 29 Mei 2002
Suara Merdeka, Cari Figur Yang Baik dan Juga Mbrebesi, dari www.suaramerdeka.com, 14 Januari
2002, dilihat pada 13 Maret 2005
Suara Merdeka, Dari Fokus Group Diskusi
Pilkada –Gawat-,Jangan Gadaikan Dewan, dari www.suaramerdeka.com,
21 Januari 2002 dilihat 13 Maret 2005
Suara Merdeka, Bilwaf Kritisi Politik
Uang, dari www.suaramerdeka.com,
24 Januari 2002 dilihat pada 13 Maret 2005
Suara Merdeka, Rumah Ketua DPRD Disegel,
dari www.suaramerdeka.com, 1 Juni 2002
dilihat pada 13 Maret 2005
Suara Merdeka, Pilkada Belum Sesuai Tata
Tertib, dari www.suaramerdeka.com,
14 September 2002 dilihat pada 13 Maret 2005
Lampiran
-1

A. Pemberi Informasi/Identitas Informan
1. Nama Responden :
2. Usia :
3. Jenis Kelamin :
4. Pekerjaan :
5.
Alamat :
B. Pertanyaan
1.
Bagaimana tahap persiapan
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007?
2.
Bagaimana tahap pencalonan dan
pengesahan pencalonan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007?
3.
Bagaimana panitia penyelenggara
dan panitia pemilihan bekerja dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
masa jabatan tahun 2002-2007?
4.
Bagaimana proses terjadinya
rangkap pencalonan atas jabatan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007?
5.
Apa yang menyebabkan terjadinya
rangkap pencalonan atas jabatan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007?
Apakah mekanisme ini sesuai dengan PP No 151 tahun 2000?
6.
Bagaimana proses pengunduran ciri
salah satu pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007?
7.
Apa yang menyebabkan salah satu
pasangan calon mengundurkan diri dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
masa jabatan tahun 2002-2007? Apakah mekanisme ini sesuai dengan PP No 151
tahun 2000?
8.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan
terjadinya rangkap pencalonan Wakil Bupati sekaligus pengunduran diri salah
satu pasangan calon sehingga mengakibatkan hanya ada satu calon Bupati dan
Wakil Bupati tunggal?
9.
Bagaimana konstelasi politik
(tarik-menarik kepentingan politik) dalam sidang paripurna saat pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007 berlangsung?
10. Bagaimana konfigurasi politik (fraksi apa mendukung siapa, melawan
siapa) dalam sidang paripurna saat pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes
masa jabatan tahun 2002-2007?
11. Bagaimana respon peserta sidang paripurna terhadap rangkap pencalonan
Wakil Bupati dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan
tahun 2002-2007?
12. Bagaimana respon peserta sidang paripurna terhadap pengunduran diri
salah satu pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007 sehingga hanya ada satu calon tunggal?
13. Bagaimana respon elemen-elemen masyarakat (LSM, tokoh masyarakat,
mahasiswa, kalangan pers dll) terhadap proses pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes 2002-2007, terutama berkaitan dengan rangkap pencalonan Wakil Bupati dan
pengunduran diri salah satu pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati sehingga
hanya ada satu calon tunggal?
14. Bagaimana monitoring dan evaluasi dari peserta sidang paripurna
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007?
15. Bagaimana elemen-elemen masyarakat yang lain (LSM, tokoh masyarakat,
mahasiswa, kalangan pers dll) melakukan monitoring dan evaluasi atas proses
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan 2002-2007?
16. Apa ada kecenderungan politik uang dalam proses pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007?
17. Apa yang melatarbelakangi gugatan wanprestasi dari salah satu bakal
calon Bupati yang gagal dalam pemilihan terhadap anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Brebes?
[1] Basis Data Kabupaten Brebes Tahun 2002, Bappeda Kabupaten Brebes
[2] Peraturan Pemerintah
Nomor 151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Biro Otonomi Daerah Sekretariat Daerah
Propinsi Jawa Tengah 2002
[3] Wawancara dengan Wahyudin
Nooraly, 15 Maret 2005
[4] Wawancara dengan H.
Muhammadin, 15 Maret 2005
[5] Wawancara dengan Drs.
Ahmad Rofiqi, 15 Maret 2005
[6] Lihat Cari Figur Yang Baik dan Juga Mbrebesi, dari www.suaramerdeka.com,
14 Januari 2002
[7] Lihat Risalah Rapat,
Rapat Paripurna Khusus DPRD Kabupaten Brebes, Sekretariat DPRD Kabupaten
Brebes, November 2002, hal. 241
[8] Lihat Risalah Rapat,
Rapat Paripurna Khusus DPRD Kabupaten Brebes, Sekretariat DPRD Kabupaten
Brebes, November 2002, hal. 260
[9] Lihat “Surat Pengunduran Diri dari Calon Wakil Bupati” dalam
Risalah Rapat Paripurna Khusus DPRD Kabupaten Brebes, Sekretariat DPRD
Kabupaten Brebes, November 2002
[10] Lihat Risalah Rapat, Rapat Paripurna Khusus DPRD Kabupaten Brebes,
Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes, November 2002 hal. 272-273
[11] Keputusan Pimpinan DPRD
Brebes Nomor 05 Tahun 2002 tentang Penyelesaian Masalah Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati Brebes, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes, November 2002
[13] Risalah Rapat Paripurna
Penatapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Kabupaten Brebes masa
jabatan tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes, November 2002
[14] Wawancara dengan Drs.
Ahmad Rofiqi, 15 Maret 2005
[15] Wawancara dengan Wahyudin
Nooraly, 15 Maret 2005
[16] Wawancara dengan H.
Muhammadin, 15 Maret 2005
[17] Wawancara dengan Wahyudin
Nooraly, 15 Maret 2005
[18] Wawancara dengan Wahyudin
Nooraly, 15 Maret 2005
[19] Wawancara dengan Wahyudin Nooraly, 15 Maret 2005
[20] Wawancara dengan Drs.
Ahmad Rofiqi, 15 Maret 2005
[21] Keputusan DPRD Brebes
Nomor 02 tahun 2002 tentang Tata Tertib Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes,
November 2002, hal. 17
[22] Wawancara dengan H.
Muhammadin, 15 Maret 2005
[23] Wawancara dengan Drs.
Ahmad Rofiqi, 15 Maret 2005
[24] Wawancara dengan Mahfudin
SS, 13 Maret 2005
[25] Lihat Dari Fokus Group
Diskusi Pilkada –Gawat-,Jangan Gadaikan Dewan, dari www.suaramerdeka.com, 21 Januari 2002
[27] Dokumen Proses
Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes, November 2002, hal 479
[29] Keputusan DPRD Brebes
Nomor 02 tahun 2002 tentang Tata Tertib Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes,
November 2002, hal. 9
[30] Pernyataan sikap Masigab
terhadap hasil Rapat Paripurna Khusus Tahap I DPRD Brebes tentang Pemilihan
Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun 2002-2007, dokumen tidak dipublikasikan,
30 Mei 2002
[31] Dokumen Proses
Pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes masa jabatan tahun
2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes, November 2002, hal 486
[34] Keputusan DPRD Brebes
Nomor 02 tahun 2002 tentang Tata Tertib Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Brebes Masa Jabatan Tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD Kabupaten Brebes,
November 2002, hal. 11
[35] Wawancara dengan Wahyudin
Nooraly, 15 Maret 2005
[36] Wawancara dengan Wahyudin
Nooraly, 15 Maret 2005
[37] Wawancara dengan H. Muhammadin,
15 Maret 2005
[38] Berita Acara Pelaksanaan
Masa Pengujian Publik Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Brebes Masa Jabatan
Tahun 2002-2007, Sekretariat DPRD, November 2002, hal. 301
[39] Wawancara dengan
H.Muhammadin, 15 Maret 2005
[40] Wawancara dengan Drs. Ahmad
Rofiqi, 15 Maret 2005
[41] Peraturan Pemerintah
Nomor 151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Biro Otonomi Daerah Sekretariat Daerah
Provinsi Jawa Tengah, 2002, hal 31
[43] Wawancara dengan Wahyudin Nooraly, 15 Maret 2005
[44] Wawancara dengan H.
Muhammadin, 15 Maret 2005
[45] Wawancara dengan H.
Muhammadin, 15 Maret 2005
[46] Wawancara dengan Drs.
Ahmad Rofiqi, 15 Maret 2005
[47] Lihat Makin Banyak
Sawerannya, Makin Banyak Suaranya, Radar Tegal edisi Rabu, 29 Mei
2002
[48] Surat Pernyataan
bermaterai atas nama Imam Royani dan Hasyim Dwikadi tanggal 20 Juni 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar